Belum lama menikah
tetapi sudah berpikir untuk berpisah. Kondisi itu terungkap dalam survei 2016
Prudential Relationship Indeks di Singapura. Angka perceraian di Singapura
memang tinggi, faktanya 28% responden mengalami masalah ini, mereka bertengkar
terus menerus karena pasangannya lebih memilih menghabiskan waktu dengan
memandangi layar gadget.*(dikutip dari harian ibukota). Kalau sudah begini
mudah-mudahan orang Indonesia nggak ikut-ikutan jadi korban teknologi alias
kortek kalau yang gaptek mungkin banyak. Setianya gadget menemani hari-hari
kita sepertinya memang tidak bisa dipungkiri oleh karena itu bagaimana
menyiasatinya perlu beberapa sikap yang bijak. Ada cerita seseorang yang
menyadari HP-nya ketinggalan di rumah saat tiba di bandara padahal pagi itu harus
terbang dengan jadwal penerbangan pesawat pertama tetapi ternyata lebih rela
pulang ke rumah dan harus ketinggalan pesawat daripada ketinggalan HP (padahal
kalau HP-nya gak diambil paling resikonya HP-nya sudah hancur dibanting
he..he...) ada lagi cerita seseorang yang punya HP 3 buah plus power bank tetapi masih nyari free wifi padahal disuatu area kadang
nama username sudah berubah misalnya
menjadi “masih cari yang gratisan ? ”
atau “ miskin luh ” atau ada lagi
yang ganti nama menjadi “emangnya wifi emak
luh” he hee...dari cerita ini tersirat begitu tingginya kebutuhan untuk selalu
online kapanpun dimanapun. Singkat cerita suatu kali saya ikut seminar dan
diskusi salah satu panelis waktu itu sesaat sebelum presentasi dimulai memberi
kami waktu 5 menit untuk online sebelum dia memberikan materinya. Hal ini dia
lakukan dengan alasan karena dia tidak ingin terganggu dan ingin apa yang dia
sampaikan dapat diterima dengan baik. Langsung saja akhirnya dalam ruangan itu
peserta terlihat ada yang selfie, update status, browsing, menelepon dsb. Waktu
5 menit berakhir semua gadget disetting moda silent dan tidak ditaruh di atas meja. Singkat cerita diakhir
presentasi nara sumber mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kepatuhan
peserta seminar sambil juga menyisipkan cerita tentang bagaimana barang
kesayangan anda (gadget) adalah barang yang bisa jadi paling pertama yang
mengkhianati kita pada saat bersentuhan dengan persoalan hukum. Terima kasih semoga semakin bijak.
Jumat, 28 Oktober 2016
Selasa, 18 Oktober 2016
Usulan perencanaan berbasis koordinat
Pernah dengar cerita ada usulan perencanaan dari suatu kegiatan
pembangunan drainase yang judulnya sama berada dalam satu lokasi yang sama
ketika dilakukan verifikasi ulang ternyata untuk satu judul saja volumenya
masih kurang...lalu dimanakah lokasi dua kegiatan proyek lainnya akan dikerjakan
? Jika kita melihat kembali usulan
pembangunan contohnya dalam hal ini usulan pembangunan saluran air, untuk
mengantisipasi hal seperti diatas terjadi biasanya untuk lokasi diberi alamat
dalam lingkup yang lebih luas jadi tidak memakai lingkup ke-RT-an tetapi
lingkup RW....judul usulan pembangunannya menjadi seperti ini “ Pembangunan Saluran Air RW 01 di kelurahan
A” . Memang benar harus demikian
karena aliran air harus dilihat hulu dan hilirnya selain itu untuk
mengantisipasi kurangnya volume saat verifikasi ulang kegiatan agar tidak
terkunci oleh batasan wilayah, ingat salah satu curhatnya Dinas Pengairan/SDA
adalah kadang menerima keluhan dari masyarakat karena wilayahnya menjadi banjir
akibat adanya pembangunan saluran air (hilir) dan mendapat pujian dari
masyarakat karena wilayahnya sudah tidak banjir (hulu)....dari gambaran diatas
tersirat ada tiga persoalannya, pertama
penumpukan kegiatan dalam satu lokasi, kedua
bagaimana penentuan hulu dan hilir, ketiga
kesinambungan proyek.... lalu bagaimana penyelesaiannya ? pertama masyarakat
harus mulai terbiasa usulan pembangunan melalui titik koordinat ...jadi usulan
pembangunan harus BY COORNA yaitu by koordinat
by name by address (jangan kalah
sama ojek online....), Dinas terkait juga harus sudah mempunyai peta data
base tentang proyek yang sudah maupun akan dikerjakan bentuknya berupa garis atau notasi dimana
saja saluran drainase sudah dibangun, dimensi, tahun kapan dibangun, kondisi
saat ini bagaimana dsb. Jadi Peta data base jaringan drainase nantinya akan di-super impose dengan layer daerah
genangan dari sinilah penentuan usulan pembangunan drainase dapat
diprioritaskan (tidak ada penumpukan judul, kelebihan/kekurangan volume), hulu
dan hilirnya dapat ditampilkan dipeta (tidak terputus-putus jaringannya) dan
kesinambungan proyek dapat dilanjutkan (masyarakat di hilir tidak mengeluh)....dan
yang lebih penting bagaimana mengintegrasikan rencana jaringan drainase lokal
dengan masterplan drainase kota.....konsekuensinya memang harus ada pelatihan
penggunaan GPS ditingkat masyarakat (pakai
GPS di HP juga bisa) atau minimal aparat kelurahan untuk mendapatkan usulan
pembangunan mengerti sistem By Coorna ini dan dilengkapi perangkat komputer di
tingkat kelurahan yang berisi software pemetaan (banyak pilihan softwarenya)
untuk input data usulan.....Jadi kalau ada rapat Musrenbang tingkat
kelurahan aparat kelurahan dapat
menampilkan peta usulan masyarakat dan menjelaskan kenapa alasannya usulan
tersebut diprioritaskan secara grafis melalui peta, notasi dan visualisasi masterplan
drainase kota keseluruhan.
Senin, 22 Agustus 2016
ASIKNYA (BERJALAN) BERJUALAN DI TROTOAR
Ada
suatu aturan tidak tertulis ketika kita berjalan bersama anak kecil atau orang
yang harus kita lindungi misalnya posisi anak kecil harus berada di sisi
sebelah dalam dari orang tua agar terlindung dari derasnya arus lalu lintas.
Begitu juga bila dilihat dari sudut teknik desain, potongan melintang jalan
raya secara berurutan hirarkinya sebagai berikut jalan untuk kendaraan besar (mobil), jalan
untuk kendaraan kecil (motor/sepeda/gerobak dll), pohon besar pelindung,
trotoar, saluran air dan pagar bangunan. Deretan hirarki ini dimaksudkan sama yaitu
agar pejalan kaki terlindungi dari derasnya arus lalu lintas, pohon besar selain
sebagai penghijauan dapat menjadi pelindung pejalan kaki dari kendaraan yang
misalnya tiba-tiba banting setir keluar dari jalannya.
UU nomor 22 tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan Pasal 131 ayat 1 mengatakan bahwa “ Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa
trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain ”. Kemudian pada pasal
132 ayat 1 bagian a “pejalan Kaki
wajib menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau
Jalan yang paling tepi” Tapi nyatanya pejalan
kaki sering kali harus mengalah oleh keadaan dan kondisi trotoar yang kini
dicaplok oleh kepentingan orang/bangunan yang melanggar batas-batas ruang
publik. Paling sering kita melihat ada tiga macam kegiatan yang mencaplok
keberadaan trotoar ini yaitu kegiatan tambal ban dan perlengkapannya, gerobak
rokok dan penjualan tanaman. Pemerintah daerah sendiri sebenarnya sudah punya
aturan yang melarang segala kegiatan di trotoar biasanya melalui perda
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, lalu pertanyaannya adalah, apakah
berjalan penegakan perda tersebut di lapangan ? lalu kenapa orang asyik saja
berkegiatan di trotoar hingga bertahun-tahun ? atau mereka terlindungi karena
membayar setoran setiap bulan kepada oknum ? Sebenarnya pada saat tidak terjadi
kecelakaan ketika seseorang berjalan kaki di atas aspal jalan raya (karena trotoarnya
sudah dicaplok) bukan berarti semuanya baik-baik saja padahal yang terjadi disini
yaitu pertama pejalan kaki bertaruh
nyawanya di jalan raya, kedua pengemudi
bertaruh dijadikan tersangka karena menabrak pejalan kaki (padahal belum tentu
menjadi penyebab utama), ketiga pemerintah
daerah cuma bertaruh kewibawaannya karena tidak bisa menegakkan aturan. Coba
bandingkan siapa yang paling dirugikan
Kamis, 28 Juli 2016
Duduk di antrian Kantor Pajak....
Ketika duduk diantrian Kantor Pajak saat
tengah asyik menunggu nomor antrian dipanggil (mendingan nih KPP ada nomor
antriannya !) sambil nonton TV yang gak tahu remotenya di taruh dimana jadi
salurannya itu terus gak bisa dipindah-pindah...tiba-tiba ada yang menyapa “ hei pak...lagi lapor pajak ? “ dia
menyapa sambil menyodorkan tangannya
untuk bersalaman, “Oya pak..betul pak “ ku
jawab dengan lugas dan bijak karena katanya orang bijak taat pajak he ..he...
Beberapa menit kemudian percakapan kami berlangsung hangat, ngobrol
ngalor-ngidul karena sudah lama tidak bertemu sambil tengak-tengok display
nomor antrian. Ada cerita yang menarik buat saya, saat bapak yang sudah berumur
lebih dari setangah abad ini mengeluh mengenai persoalan kantor pajak yang dia
datangi ini terlalu jauh dari tempat tinggalnya sekarang jadi dia ingin
mengajukan pindah ke KPP yang terdekat saja agar lebih mudah dijangkau karena
keterbatasan kondisi fisik yang sudah lemah dan cepat lelah sehingga banyak
menyita waktu dan tenaga kalau dia harus bolak-balik mengurus ke kantor yang
lebih jauh (mungkin dia belum tahu banyak tentang lapor pajak lewat online juga
bisa). Singkat cerita bapak WNI keturunan ini menceritakan tentang pajak diluar
negeri tempat anaknya tinggal di Benua Eropa dia bilang kurang lebih begini bahwa
untuk warga yang akan melaporkan pajak dibuat demikian mudah dan cepat
pelayanannya, soal mudah dan cepat barangkali untuk hal ini Indonesia menurut
dia masih bisa melakukan hal yang sama, tapi di sana... dia bilang bahwa pajak
yang dibayar oleh wajib pajak nantinya akan direward / dikembalikan lagi beberapa persen kepada si wajib pajak pada saat memasuki usia pensiun/
usia tidak produktif. Cerita ini dia dapatkan dari dua anaknya yang tinggal,
bekerja dan mempunyai keluarga di sana. Makanya di Indonesia dia bilang kita
sering melihat turis yang usianya
pensiunan tengah berwisata, bisa jadi dia tengah menikmati reward
pajak dari negaranya yang diambil dari pajak yang dibayarkan oleh dia
ketika masih berusia produktif. (wah
asyik juga kalo kaya gini mah...jadi kita bayar pajak PBB, bayar pajak
Kendaraan, Pajak BPHTB dan barang kena pajak lainnya ibarat nabung....karena
punya persentase tabungan....dijamin gak ada yang telat bayar pajak kendaraan
karena makin banyak bayar maka makin bertambah saldo tabungan hari tuanya....masih
masuk logika).
Selasa, 12 Juli 2016
Memilih sekolah lagi....
Pendaftaran sekolah sudah dimulai dan pengumuman siswa yang diterima disekolah X
sudah diumumkan secara online. Baru pertama kali ini penerimaan siswa melalui
cara online jadi masih banyak yang
gagap proses dan prosedurnya seperti apa yang harus diikuti. Dahulu sebelum
pendaftaran sekolah secara online, orangtua siswa cuma datang ke sekolah yang
dituju dengan membawa persyaratan yang diperlukan. Mendapatkan formulir, mengisi
dan menyerahkan persyaratan lalu tunggu pengumuman (ini lewat pintu depan) tapi
ada juga yang lewat pintu belakang...... (katanya)......Lalu bagaimana dengan
sistem online apakah pintu belakang masih terbuka ? oya jawabannya ternyata pintu
depan tidak dibuka lebar-lebar sepenuhnya, kuota kursi kosong masih tersedia. Bagaimana
caranya ? mungkin anda dapat menyelidiki sendiri....! lepas dari itu semua
sebenarnya seorang siswa yang ikut pendaftaran sekolah melalui sistem online adalah seorang siswa yang ikut
berkompetisi dengan ribuan calon siswa sebayanya, jika lolos dan menempati
urutan seleksi maka nomor urut tersebut akan selalu berubah setiap waktu sampai
waktu masa pendaftaran ditutup. Hari ini jam 16.00 wib nama siswa yang
bersangkutan mungkin masih ada tetapi hari yang sama pada pukul 23.30 wib bisa
saja tersingkir dan namanya pindah dan tercantum di sekolah pilihan kedua
karena perbedaan nilai hasil ujian. Beruntung jika masih tercantum di sekolah
pilihan kedua... kalau tidak...bisa jadi orangtuanya “ketok-ketok pintu belakang” sekolah yang dituju....ada ungkapan
begini “ kalau untuk anak... biar bisa
sekolah.... kepala jadi kaki, kaki jadi kepala ane jabanin dah !” ungkapan
ini bermakan bias bahwa saat ini sudah begitu sangat sadarnya orangtua akan
pentingnya pendidikan atau orangtua malah terjebak dan rela menempuh “cara apapun” yang penting anaknya bisa
sekolah....pertanyaannya apakah benar prinsip dari ungkapan seperti itu ? Ternyata
ada hal yang lebih penting dari itu semua yaitu proses orang tua membimbing dan
mengarahkan anak untuk belajar di rumah adalah yang utama apalagi mereka masih
dibawah umur, jadi tidak hanya
mengandalkan proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah...beruntung jika
pihak sekolah mampu mengemban tugas itu dengan baik kalau tidak akan sangat
tragis nilai anak menjadi anjlok dan kitapun terpaksa ketok pintu belakang
sekolah yang dituju dengan beberapa rupiah yang kita punya....kemudian setelah
anak kita diterima lalu kita lepas tangan lagi untuk membimbing dan
mengarahkannya belajar......nanti nilai anak anjlok lagi dan kita ketok pintu belakang
lagi....(itu juga kalau masih ada pintu belakang).....Terima kasih...selamat
belajar...!
Senin, 23 Mei 2016
Mau dikemanakan seragam sekolah ini ?
Sebentar
lagi tahun ajaran baru akan datang. Ujian Nasional (UN) dari Tingkat SMU sampai
SD sudah selesai. Murid kelas akhir tinggal menunggu pengumuman kelulusan dan
pengumuman nilai hasil UN. Selesai UN dari sekarang sudah harus menentukan
kira-kira sekolah mana yang akan di pilih selanjutnya dengan segala
pertimbangan. Sementara itu baju seragam sekolah yang sudah tidak dipakai lagi
nantinya mau diapakan, mau dikemanakan ? kalau misalnya satu SD meluluskan 2 (dua)
kelas atau sekitar 60 orang dengan asumsi satu kelas diisi 30 orang, berarti
ada sekitar 60 seragam sekolah yang tidak dipakai lagi, lalu jika setiap murid
mempunyai 2 (dua) pasang seragam sekolah berarti jumlahnya 2 kali lipat. Ini
baru dari satu sekolah SD. Bayangkan berapa banyak seragam sekolah yang tidak
dipakai ? apakah masih bisa dimanfaatkan atau disumbangkan ? bagaimana jika
kita bisa menampung seragam sekolah dari tingkatan SD, SMP hingga SMU dalam
satu kota/kabupaten. Tentu banyak yang bisa diperbuat. Pertama; Rapat para
anggota Komite Sekolah seharusnya tidak hanya memikirkan bagaimana acara
perpisahan sekolah tapi harus lebih dari itu, misalnya acara perpisahan
dilakukan dengan mengadakan bazaar baju seragam layak pakai (seragam bekas) yang
berasal dari sumbangan wajib dari murid yang akan lulus tahun ini; bagi adik
kelas yang berminat untuk mendapatkan baju seragam itu harus membayar misalnya
Rp. 10.000,- /kupon yang nantinya kupon tersebut akan ditukarkan dengan seragam
yang mereka pilih di stand bazaar yang digelar disekolah mereka. Tinggal
mencocokan ukurannya saja. Pembagian kupon harus adil dan merata. Uang hasil
penjualan kupon nantinya untuk biaya penyelenggaraan bazaar seperti sewa tenda,
konsumsi, kebersihan dsb. Kedua; jika tidak diadakan bazaar di
sekolah itu maka seragam sekolah hasil sumbangan murid yang akan lulus
dikumpulkan oleh Komite Sekolah untuk disumbangkan ke sekolah mitra atau
sekolah binaan yang masih butuh seragam layak pakai. Sumbangan seragam sekolah
adalah satu bentuk kepedulian sosial kepada siswa lainya karena masih banyak
yang kurang beruntung yaitu mereka yang punya seragam sekolah satu-satunya,
pulang sekolah seragam sekolah dipakai main, sore dicuci, malam dijemur, pagi
dipakai lagi untuk sekolah. Warnanya sudah berubah dari putih menjadi putih
kusam belepotan gak karuan. Untuk alternatif yang kedua ini perlu dukungan dari
pihak berwenang Dinas Pendidikan agar setiap sekolah mempunyai mitra sekolah
binaan. Misalnya SD swasta diwajibkan mempunyai SD mitra binaan yang levelnya
masih kurang (ditentukan indikatornya atau cari data di Dinas pendidikan bisa
jadi diluar kota) dari penyediaan seragam murid, sarana dan prasarana
sekolahnya dsb. Hal ini dilakukan untuk kurun 5 (lima) tahun berturut-turut
tanpa dikenakan biaya apapun, karena program ini dimasukan sebagai salah satu
bentuk CSR sekolah swasta. 5 tahun kemudian SD swasta ini berpindah ke sekolah
mitra binaan yang baru lagi. Mungkin lebih baik diberikan kepada mereka
daripada nyempit-nyempitin lemari pakaian. By Muhlisin.
Selasa, 05 April 2016
Keamanan minimarket
Sangat mudah
buat kita saat ini mencari makanan dan minuman ringan serta kebutuhan lainnya
karena semakin bertebaran minimarket yang saling berdekatan malah ada yang bersebelahan
yang bikin kita bingung. Menurut data pada tahun 2012 terdapat 10.000-an gerai minimarket inipun
hanya untuk dua buah minimarket terkenal. Lalu bagaimana toko atau ritel-ritel tradisional yang
bermodal kecil karena begitu banyaknya pertumbuhan usaha ritel modern melalui waralaba
dikhawatirkan bakal mematikan usaha pedagang ritel tradisional dan secara tidak
disadari sistem ekonomi kita menjadi demokrasi ekonomi yang tidak pro rakyat. Okelah
saya tidak ingin membahas ini lebih jauh karena sudah ada aturan Perpres dan
Permendag yang mengatur bahkan ada Perda tentang Pasar Modern pada tingkatan Kabupaten/Kota tapi di lapangan
kenyataannya seperti yang kita lihat sekarang.
Tenaga kerja yang ada
di minimarket jika kita perhatikan mempekerjakan sekitar 3-6 orang, masing-masing
tugasnya antara lain sebagai kasir bisa 2 orang, bagian logistik/gudang/stok
barang 1 atau 2 orang, dan satu orang
kepala unit toko. Kalau dilihat dari segi marketing minimarket tersebut membuka
gerai di daerah yang padat penduduknya artinya mobilitas penduduk di daerah
tersebut tinggi terutama untuk tujuan belanja eceran, cepat dan lengkap (bisa
pesan tiket kereta pula dan mungkin tahun 2025 kita bisa jual-beli tanah
bersertifikat di sini he he).
Ya...cepat, lengkap,
bersih dan nyaman kita dapatkan belanja diminimarket tapi keamanan saat belanja
bagaimana ? karena berada di lokasi yang padat penduduk maka parkir kendaraan
pembeli juga harus diperhatikan. Pemasangan CCTV tentu tidak dapat mencegah
orang yang akan berbuat kejahatan karena sampai saat ini masih ada gerai yang
kehilangan motor di parkiran bahkan mesin ATM-nya di bobol dan biasanya ini
terjadi di gerai minimarket dimana tidak ada UMKM yang berjualan di sisi toko. Semoga
asumsi saya salah bahwa semakin banyak minimarket di suatu daerah maka semakin
banyak zona merah rawan Curanmor di daerah tersebut. Gerobak UMKM
seperti penjual kebab, jus, martabak atau gerobak kakilima lainnya sesungguhnya
secara tidak langsung punya peran menjaga keamanan parkir para pedagang
inilah yang harus terus diberikan ruang untuk berjualan di sisi toko, diatur sedemikian
rupa posisi gerobaknya supaya pengawasan kendaraan yang parkir mudah dilakukan,
ya paling tidak pencuri mengurungkan niatnya karena ada saksi yang melihat. Hal
ini perlu dilakukan untuk seluruh gerai minimarket apalagi pegawai mereka
memang tidak ada yang khusus ditugaskan menjaga keamanan di luar toko. Perlu
dipertimbangkan juga dalam gambar perizinan siteplan gerai minimarket wajib
dilengkapi ruang dan dimansi untuk berjualan gerobak UMKM.
By Muhlisin
Kamis, 03 Maret 2016
BALAI WARGA DI KOTA TANGERANG SELATAN
“Bagus ya modelnya, rumah gaya betawi
romannya bang ? ”, demikian kutipan ucapan seorang warga ketika dia melihat
sebuah bangunan yang tengah dibangun di kampungnya. Mungkin mengingatkan masa kecilnya ketika
zaman dahulu rumah model betawi seperti itu banyak dilihat hampir disetiap
pelosok Kota Tangerang Selatan.
Ini adalah bentuk bangunan Balai Warga yang memang sengaja ingin mengangkat
identitas lokal. Kota Tangerang Selatan yang berdekatan dengan Kota Jakarta
tentu banyak juga dipengaruhi oleh seni dan kebudayaan Betawi. Lalu bagaimana
supaya bangunan Balai warga ini kemudian menjadi berfungsi sesuai yang
diharapkan ? Balai warga ini tentu bukan sekedar ungkapan nostalgia kenangan
lama tapi diharapkan agar generasi sekarang mengetahui serta dapat memanfaatkan
sebaik-baiknya dan dibangun bukan untuk menjadi bangunan monumen.
Dinas Tata Kota, Bangunan dan Pemukiman Kota Tangerang Selatan pada tahun
2016 ini juga masih akan membangun beberapa unit Balai Warga. Memang tidak
setiap RW akan dibangunkan Balai Warga karena terbatas dan mahalnya harga tanah
di Kota Tangerang Selatan. Balai Warga yang sudah terbangun juga banyak memakai
tanah Fasos/fasum dan tanah kas kelurahan yang sudah di serahkan menjadi aset
Kota Tangerang Selatan.
Sebenarnya ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan dengan telah berdirinya
bangunan Balai warga di setiap Kecamatan yang ada di Kota Tangerang Selatan.
Balai Warga ini dapat dimanfaatkan rapat dan pertemuan warga sudah pasti, sebagai
latar belakang setting pementasan lenong, sebagai tempat berkumpulnya warga
ketika merayakan 17 agustusan, pengajian, majelis taklim, pengambilan gambar
untuk shooting sinetron bertema Betawi dan juga dapat dimanfaatkan sebagai
latar belakang untuk pengambilan gambar foto pre-wedding bagi pasangan warga
Kota Tangerang Selatan yang ingin melangsungkan pernikahan dsb
Untuk kedepannya mungkin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang
Selatan dapat menyumbangkan beberapa aksesories pelengkap kebudayaan Betawi
menjadi bagian dari Balai warga ini antara lain sepasang ondel-ondel dan kursi
bulat model Betawi dapat disandingkan di teras Balai Warga ketika ada
perhelatan acara, DKPP dapat menempatkan lampu PJU & Tong sampah dan
penataan taman pada halaman bangunan Balai Warga, DBMSDA dapat membantu
menempatkan program perkerasan jalan (paving/aspal) di sekitar bangunan Balai
Warga dsb. Semoga bermanfaat buat warga Kota Tangerang Selatan.
Dasar kebutuhan ruang dan lahan untuk Balai Warga
Dasar penyediaan sarana pemerintahan dan pelayanan umum untuk melayani
setiap unit administrasi pemerintahan baik yang informal (RT dan RW) maupun
yang formal (Kelurahan dan Kecamatan) bukan didasarkan semata-mata pada jumlah
penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Dasar penyediaan sarana ini juga
mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit unit atau kelompok lingkungan
yang ada. Tentunya hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan/blok
yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sedangkan penempatan
penyediaan sarana mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait
Kebutuhan lahan pada unit RW dengan jumlah penduduk minimal 2.500 jiwa
penduduk yang terdiri dari 8 – 10 RT maka membutuhkan 1 unit bangunan balai
pertemuan warga dengan luas lahan minimal 300 m². Balai pertemuan tersebut
sekaligus sebagai penyediaan kebutuhan bagi sarana kebudayaan dan rekreasi dan
dipakai secara saling berintegrasi. (dikutip dari buku SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan).
By Muhlisin
Selasa, 09 Februari 2016
pilah pilih sampah..
Tanpa rasa lelah tiap hari dia harus membungkus sampah dan membuangnya ke
tempat yang disebut tempat sampah, ini adalah
kebiasaannya dan hampir di setiap pagi dia lakukan. Sampah yang dia bawa
ini memang sudah dipilah. Ternyata sampah plastik sebelumnya sudah dipisahkan
dan diberikan kepada tetangga sebelah rumahnya yang mempunyai kegiatan
mengumpulkan sampah plastik yang dapat didaur ulang. Dia bilang memilah sampah
tidak begitu menyulitkan cuma butuh sedikit rasa peka kepada lingkungan tapi
rupanya dengan bangga dia bilang kebiasaan ini hanya dapat dilakukan oleh orang
yang mempunyai pemikiran out of the box
saja menurutnya. Kenapa ? coba kita lihat dari sudut pandang profesi tak semua orang mau mengambil
dan mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kembali. `Padahal Ini bukan pekerjaan hina dan juga bukan
pekerjaan yang sifatnya mengambil hak orang lain, seharusnya mereka diberi
penghargaan karena mengurangi volume sampah yang masuk bak sampah yang akhirnya
mengurangi volume sampah di TPA. Namun pandangan sempit kebanyakan orang
menganggap itu adalah pekerjaan kotor yang
memalukan dan hanya untuk orang bodoh yang kurang beruntung. Jadilah mereka
berprofesi sebagai pemulung. Padahal disinilah letaknya bahwa ketidakmampuan masyarakat
untuk memilah sampah efeknya menimbulkan sebuah profesi pemulung dan selama
kita belum mampu memilah sampah maka mereka akan tetap ada. Artinya selama itu
juga masyarakat masih dalam berada dalam tempurung dan berpikir konvensional. Padahal
memilah sampah itu hanya tindakan sederhana namun sebuah lompatan besar.
ilustrasi pertama: Sebuah keluarga yang
disekitar rumahnya tidak ada tempat sampah dan jauh dari bak sampah akhirnya
meminta jasa pemungut/pemulung sampah untuk mengambil sampah dari rumahnya yang
disiapkan dalam satu tong sampah depan rumahnya. Tiap bulan si empunya rumah
membayar Rp. 30.000,- kepada pemungut
sampah. Lalu apa yang terjadi, sekeluarga dalam rumah itu membuang benda
apapun kedalam satu tong sampah karena dianggap persoalan sampah sudah
diselesaikan dengan membayar tiap bulan. Apa betul begitu ? lalu tahukah mereka
soal prinsip reduce, reuse dan recycle tentang sampah. Tahukah mereka
bahwa kota tempat mereka tinggal juga bingung mengurusi sampah yang kian
bertambah. Lalu bagaimana kita memberikan contoh kepada keluarga kita sendiri
terutama menanamkan memilah sampah sejak dini kepada anak-anak ?
Ilustrasi kedua : Pemungut sampah dari rumah
tersebut diatas ternyata memilah sampah dari tong yang dia ambil setiap dua
hari sekali. Hasilnya banyak benda-benda yang dia kumpulkan untuk dijual
kembali seperti koran, majalah dan buku bekas, kaleng, botol dan bahan-bahan
plastik yang dapat didaur ulang dsb. Disini pemungut sampah “menang banyak”, tiap bulan dapat
bayaran dan dapat tambahan pemasukan dari pemilahan sampah. Hitungan ini baru
satu rumah saja. Coba bayangkan, malah ada pemulung yang berani membayar untuk
tiap truk sampah yang mengumpulkan sampah dari komplek perumahan besar.
Disinilah persoalan lain muncul. Kesempatan dalam kesempitan yaitu komersialisasi
sampah. Seakan truk sampah kota hanya berorientasi melayani dan mengangkut
sampah di lingkungan perumahan besar, pasar dan jalan utama saja. Lalu yang tidak
terlayani dimangsa oleh pemungut sampah yang “menang banyak” tadi atau mereka tidak ingin mengeluarkan biaya
akhirnya membuang sampah di pinggir jalan. Disini sampah tidak pernah selesai.
Dalam ilustrasi pertama seharusnya pemungut sampah tidak perlu mendapat bayaran perbulan tetapi
mereka mendapat bayaran berupa sampah yang dapat didaur ulang dan bernilai jual
sebagai imbalan mengumpulkan sampah dari tiap siempunya tong sampah rumahan. Begitu juga tempat
belanja atau mall besar menyediakan unit khusus penukaran sampah-sampah plastik
yang dapat ditukar dengan kantong belanja ramah lingkungan atau
sejenisnya. Intinya persoalan sampah tidak selesai dengan membayar karena persoalan sampah adalah persoalan
bersama dan harus diselesaikan mulai dari diri sendiri.
By Muhlisin.
Kamis, 07 Januari 2016
MENCARI PSU
Rumah, Taman,
jalan dan saluran serta fasos dan fasum adalah sesuatu yang harus diperhatikan
pada saat melihat sebuah siteplan perumahan. Tak peduli kita tengah berada
dalam posisi sebagai calon pembeli atau memang sebagai kelompok masyarakat yang
peduli akan perumahan karena sudah sifatnya kenyataan di lapangan pengembang
besar dan pengembang kecil sama nakalnya. Banyak celah yang masih dimanfaatkan
pengembang guna mengeruk keuntungan yang lebih besar. Dari sudut kepemilikan
dan luasan hak pembeli memang tidak ada yang dirugikan namun secara teknis
lingkungan hunian sebenarnya banyak yang dirugikan karena merumahkan manusia
bukan hanya bangunan fisik saja tapi ruang terbuka, ruang bersama dan fasilitas
adalah sesuatu yang juga penting dalam membentuk karakter keluarga yang hidup
dan berkehidupan didalamnya.
Jika kita
melihat bahwa kriteria rumah yang layak dan sehat untuk dijadikan tempat
tinggal adalah apabila rumah tersebut memiliki dinding terluas yang terbuat
dari tembok atau kayu, atap terluas berupa beton atau genteng serta luas lantai
terluas bukan berupa tanah. Selain itu menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
salah satu kriteria rumah sehat adalah rumah yang memiliki luas lantai per
orang minimal 10 m². Sedangkan menurut pedoman rumah sederhana sehat, kebutuhan
ruang per orang dihitung berdasarkan aktifitas dasar manusia di dalam rumah
yang meliputi, tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci, masak dan ruang
gerak lainnya. Sementera menurut Kementerian Kesehatan, salah satu persyaratan
rumah sehat adalah jika penguasaan luas lantai perkapitanya minimal 8 m². Dan
jika melihat hasil kajian, maka kebutuhan ruang per orang adalah 9 m² dengan
perhitungan rata-rata ketinggian langit-langit adalah 2,80 m. (*indikator kesejahteraan rakyat, BPS 2011)
Pengembang dengan
tenaga arsitekturnya tentu punya pemahaman yang lebih dalam mengenai
persyaratan teknis bangunan dan dimensinya seperti uraian diatas. Namun perhitungan
komposisi dan material menjadi pertimbangan utama komponen biaya. Angka
akhirnya tentu mempengaruhi berapa besar keuntungan yang akan diperoleh. Belum
lagi masih ada perhitungan komponen biaya cadangan yang memang disiapkan oleh
pengembang jika sewaktu-waktu tidak menjadi biaya real yang harus dikeluarkan
tentu bertambah lagi keuntungannya. Pertanyaannya adalah apakah seorang
pengembang atau kelompok pengembang mengerti persyaratan teknis suatu bangunan
atau lingkungan hunian atau pura-pura tidak tahu dan menyerahkan
tanggungjawabnya kepada kontraktor/pemborong ? Lalu apakah juga kenyataan dilapangan
komposisi lahan terbangun dan tidak terbangun 60-40 juga terlaksana ?
jawabannya, pertama akan terlaksana jika tidak mempengaruhi rupiah keuntungan
dan jawaban kedua akan tetap terlaksana
tapi dengan mengorbankan kepentingan penghuni. Bisa jadi letak taman dan
fasos/fasum berada di posisi yang memanjang di pojok perumahan yang gelap dan
sepi berbatasan dengan TPU dan walhasil tidak pernah ada penghuni yang mau
singgah. Padahal dalam Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan
Prasarana, Sarana, dan Utilitas perumahan dan Permukiman di daerah Pasal 3
huruf C menginginkan terciptanya kepastian hukum ketersediaan prasarana, sarana,
dan utilitas di lingkungan perumahan dan permukiman sesuai dengan standar,
rencana tapak yang disetujui oleh pemerintah daerah, serta kondisi dan
kebutuhan masyarakat.
Lalu jika sebuah kota ingin menata sistem sarana dan
prasarana dasar perkotaan yang ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan
melalui penyediaan infrastruktur dasar dan fasilitas umum dan sosial, tapi kenyataannya dilapangan beberapa pengembang perumahan
ternyata siteplannya tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan di lapangan
(eksisting), tanah belum dibebaskan/tanah diserobot warga, lahan fasos/taman di
serobot/dijual ke penghuni, tidak ada
plang nama perumahan, ada pertukaran lokasi kavling dalam satu cluster, lahan
fasos/fasum berada di atas saluran air dan nama perumahan yang tidak sesuai
dengan lokasi/wilayah domisili. Dari mana mulai menatanya ?
By muhlisin
Langganan:
Postingan (Atom)