Jumat, 28 Oktober 2016

emangnya wifi emak luh....


Belum lama menikah tetapi sudah berpikir untuk berpisah. Kondisi itu terungkap dalam survei 2016 Prudential Relationship Indeks di Singapura. Angka perceraian di Singapura memang tinggi, faktanya 28% responden mengalami masalah ini, mereka bertengkar terus menerus karena pasangannya lebih memilih menghabiskan waktu dengan memandangi layar gadget.*(dikutip dari harian ibukota). Kalau sudah begini mudah-mudahan orang Indonesia nggak ikut-ikutan jadi korban teknologi alias kortek kalau yang gaptek mungkin banyak. Setianya gadget menemani hari-hari kita sepertinya memang tidak bisa dipungkiri oleh karena itu bagaimana menyiasatinya perlu beberapa sikap yang bijak. Ada cerita seseorang yang menyadari HP-nya ketinggalan di rumah saat tiba di bandara padahal pagi itu harus terbang dengan jadwal penerbangan pesawat pertama tetapi ternyata lebih rela pulang ke rumah dan harus ketinggalan pesawat daripada ketinggalan HP (padahal kalau HP-nya gak diambil paling resikonya HP-nya sudah hancur dibanting he..he...) ada lagi cerita seseorang yang punya HP 3 buah plus power bank tetapi masih nyari free wifi padahal disuatu area kadang nama username sudah berubah misalnya menjadi “masih cari yang gratisan ? ” atau “ miskin luh ” atau ada lagi yang ganti nama menjadi “emangnya wifi emak luh” he hee...dari cerita ini tersirat begitu tingginya kebutuhan untuk selalu online kapanpun dimanapun. Singkat cerita suatu kali saya ikut seminar dan diskusi salah satu panelis waktu itu sesaat sebelum presentasi dimulai memberi kami waktu 5 menit untuk online sebelum dia memberikan materinya. Hal ini dia lakukan dengan alasan karena dia tidak ingin terganggu dan ingin apa yang dia sampaikan dapat diterima dengan baik. Langsung saja akhirnya dalam ruangan itu peserta terlihat ada yang selfie, update status, browsing, menelepon dsb. Waktu 5 menit berakhir semua gadget disetting moda silent dan tidak ditaruh di atas meja. Singkat cerita diakhir presentasi nara sumber mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kepatuhan peserta seminar sambil juga menyisipkan cerita tentang bagaimana barang kesayangan anda (gadget) adalah barang yang bisa jadi paling pertama yang mengkhianati kita pada saat bersentuhan dengan persoalan hukum.  Terima kasih semoga semakin bijak.

Selasa, 18 Oktober 2016

Usulan perencanaan berbasis koordinat

Pernah dengar cerita ada usulan perencanaan dari suatu kegiatan pembangunan drainase yang judulnya sama berada dalam satu lokasi yang sama ketika dilakukan verifikasi ulang ternyata untuk satu judul saja volumenya masih kurang...lalu dimanakah lokasi dua kegiatan proyek lainnya akan dikerjakan ?  Jika kita melihat kembali usulan pembangunan contohnya dalam hal ini usulan pembangunan saluran air, untuk mengantisipasi hal seperti diatas terjadi biasanya untuk lokasi diberi alamat dalam lingkup yang lebih luas jadi tidak memakai lingkup ke-RT-an tetapi lingkup RW....judul usulan pembangunannya menjadi seperti ini “ Pembangunan Saluran Air RW 01 di kelurahan A” . Memang benar harus demikian karena aliran air harus dilihat hulu dan hilirnya selain itu untuk mengantisipasi kurangnya volume saat verifikasi ulang kegiatan agar tidak terkunci oleh batasan wilayah, ingat salah satu curhatnya Dinas Pengairan/SDA adalah kadang menerima keluhan dari masyarakat karena wilayahnya menjadi banjir akibat adanya pembangunan saluran air (hilir) dan mendapat pujian dari masyarakat karena wilayahnya sudah tidak banjir (hulu)....dari gambaran diatas tersirat ada tiga persoalannya, pertama penumpukan kegiatan dalam satu lokasi, kedua bagaimana penentuan hulu dan hilir, ketiga kesinambungan proyek.... lalu bagaimana penyelesaiannya ? pertama masyarakat harus mulai terbiasa usulan pembangunan melalui titik koordinat ...jadi usulan pembangunan harus BY COORNA yaitu by koordinat by name by address (jangan kalah sama ojek online....), Dinas terkait juga harus sudah mempunyai peta data base tentang proyek yang sudah maupun akan dikerjakan  bentuknya berupa garis atau notasi dimana saja saluran drainase sudah dibangun, dimensi, tahun kapan dibangun, kondisi saat ini bagaimana dsb. Jadi Peta data base jaringan drainase nantinya akan di-super impose dengan layer daerah genangan dari sinilah penentuan usulan pembangunan drainase dapat diprioritaskan (tidak ada penumpukan judul, kelebihan/kekurangan volume), hulu dan hilirnya dapat ditampilkan dipeta (tidak terputus-putus jaringannya) dan kesinambungan proyek dapat dilanjutkan (masyarakat di hilir tidak mengeluh)....dan yang lebih penting bagaimana mengintegrasikan rencana jaringan drainase lokal dengan masterplan drainase kota.....konsekuensinya memang harus ada pelatihan penggunaan GPS ditingkat masyarakat (pakai GPS di HP juga bisa) atau minimal aparat kelurahan untuk mendapatkan usulan pembangunan mengerti sistem By Coorna ini dan dilengkapi perangkat komputer di tingkat kelurahan yang berisi software pemetaan (banyak pilihan softwarenya) untuk input data usulan.....Jadi kalau ada rapat Musrenbang tingkat kelurahan  aparat kelurahan dapat menampilkan peta usulan masyarakat dan menjelaskan kenapa alasannya usulan tersebut diprioritaskan secara grafis melalui peta, notasi dan visualisasi masterplan drainase kota keseluruhan.



Senin, 22 Agustus 2016

ASIKNYA (BERJALAN) BERJUALAN DI TROTOAR

Ada suatu aturan tidak tertulis ketika kita berjalan bersama anak kecil atau orang yang harus kita lindungi misalnya posisi anak kecil harus berada di sisi sebelah dalam dari orang tua  agar  terlindung dari derasnya arus lalu lintas. Begitu juga bila dilihat dari sudut teknik desain, potongan melintang jalan raya secara berurutan hirarkinya sebagai berikut  jalan untuk kendaraan besar (mobil), jalan untuk kendaraan kecil (motor/sepeda/gerobak dll), pohon besar pelindung, trotoar, saluran air dan pagar bangunan. Deretan hirarki ini dimaksudkan sama yaitu agar pejalan kaki terlindungi dari derasnya arus lalu lintas, pohon besar selain sebagai penghijauan dapat menjadi pelindung pejalan kaki dari kendaraan yang misalnya tiba-tiba banting setir keluar dari jalannya. 

UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan Pasal 131 ayat 1 mengatakan bahwa “ Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain ”. Kemudian pada pasal 132 ayat 1 bagian a “pejalan Kaki wajib menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi” Tapi nyatanya pejalan kaki sering kali harus mengalah oleh keadaan dan kondisi trotoar yang kini dicaplok oleh kepentingan orang/bangunan yang melanggar batas-batas ruang publik. Paling sering kita melihat ada tiga macam kegiatan yang mencaplok keberadaan trotoar ini yaitu kegiatan tambal ban dan perlengkapannya, gerobak rokok dan penjualan tanaman. Pemerintah daerah sendiri sebenarnya sudah punya aturan yang melarang segala kegiatan di trotoar biasanya melalui perda ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, lalu pertanyaannya adalah, apakah berjalan penegakan perda tersebut di lapangan ? lalu kenapa orang asyik saja berkegiatan di trotoar hingga bertahun-tahun ? atau mereka terlindungi karena membayar setoran setiap bulan kepada oknum ? Sebenarnya pada saat tidak terjadi kecelakaan ketika seseorang berjalan kaki di atas aspal jalan raya (karena trotoarnya sudah dicaplok) bukan berarti semuanya baik-baik saja padahal yang terjadi disini yaitu pertama pejalan kaki bertaruh nyawanya di jalan raya, kedua pengemudi bertaruh dijadikan tersangka karena menabrak pejalan kaki (padahal belum tentu menjadi penyebab utama), ketiga pemerintah daerah cuma bertaruh kewibawaannya karena tidak bisa menegakkan aturan. Coba bandingkan siapa yang paling dirugikan

Kamis, 28 Juli 2016

Duduk di antrian Kantor Pajak....

Ketika duduk diantrian Kantor Pajak saat tengah asyik menunggu nomor antrian dipanggil (mendingan nih KPP ada nomor antriannya !) sambil nonton TV yang gak tahu remotenya di taruh dimana jadi salurannya itu terus gak bisa dipindah-pindah...tiba-tiba ada yang menyapa “ hei pak...lagi lapor pajak ? “ dia menyapa  sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman, “Oya pak..betul pak “ ku jawab dengan lugas dan bijak karena katanya orang bijak taat pajak he ..he... Beberapa menit kemudian percakapan kami berlangsung hangat, ngobrol ngalor-ngidul karena sudah lama tidak bertemu sambil tengak-tengok display nomor antrian. Ada cerita yang menarik buat saya, saat bapak yang sudah berumur lebih dari setangah abad ini mengeluh mengenai persoalan kantor pajak yang dia datangi ini terlalu jauh dari tempat tinggalnya sekarang jadi dia ingin mengajukan pindah ke KPP yang terdekat saja agar lebih mudah dijangkau karena keterbatasan kondisi fisik yang sudah lemah dan cepat lelah sehingga banyak menyita waktu dan tenaga kalau dia harus bolak-balik mengurus ke kantor yang lebih jauh (mungkin dia belum tahu banyak tentang lapor pajak lewat online juga bisa). Singkat cerita bapak WNI keturunan ini menceritakan tentang pajak diluar negeri tempat anaknya tinggal di Benua Eropa dia bilang kurang lebih begini bahwa untuk warga yang akan melaporkan pajak dibuat demikian mudah dan cepat pelayanannya, soal mudah dan cepat barangkali untuk hal ini Indonesia menurut dia masih bisa melakukan hal yang sama, tapi di sana... dia bilang bahwa pajak yang dibayar oleh wajib pajak nantinya akan direward / dikembalikan lagi beberapa persen kepada si  wajib pajak pada saat memasuki usia pensiun/ usia tidak produktif. Cerita ini dia dapatkan dari dua anaknya yang tinggal, bekerja dan mempunyai keluarga di sana. Makanya di Indonesia dia bilang kita sering melihat turis yang usianya  pensiunan tengah berwisata, bisa jadi dia tengah menikmati  reward  pajak dari negaranya yang diambil dari pajak yang dibayarkan oleh dia ketika masih berusia produktif.  (wah asyik juga kalo kaya gini mah...jadi kita bayar pajak PBB, bayar pajak Kendaraan, Pajak BPHTB dan barang kena pajak lainnya ibarat nabung....karena punya persentase tabungan....dijamin gak ada yang telat bayar pajak kendaraan karena makin banyak bayar maka makin bertambah saldo tabungan hari tuanya....masih masuk logika).

Selasa, 12 Juli 2016

Memilih sekolah lagi....

Pendaftaran sekolah sudah dimulai  dan pengumuman siswa yang diterima disekolah X sudah diumumkan secara online. Baru pertama kali ini penerimaan siswa melalui cara online jadi masih banyak yang gagap proses dan prosedurnya seperti apa yang harus diikuti. Dahulu sebelum pendaftaran sekolah secara online, orangtua siswa cuma datang ke sekolah yang dituju dengan membawa persyaratan yang diperlukan. Mendapatkan formulir, mengisi dan menyerahkan persyaratan lalu tunggu pengumuman (ini lewat pintu depan) tapi ada juga yang lewat pintu belakang...... (katanya)......Lalu bagaimana dengan sistem online apakah pintu belakang masih terbuka ? oya jawabannya ternyata pintu depan tidak dibuka lebar-lebar sepenuhnya, kuota kursi kosong masih tersedia. Bagaimana caranya ? mungkin anda dapat menyelidiki sendiri....! lepas dari itu semua sebenarnya seorang siswa yang ikut pendaftaran sekolah melalui sistem online adalah seorang siswa yang ikut berkompetisi dengan ribuan calon siswa sebayanya, jika lolos dan menempati urutan seleksi maka nomor urut tersebut akan selalu berubah setiap waktu sampai waktu masa pendaftaran ditutup. Hari ini jam 16.00 wib nama siswa yang bersangkutan mungkin masih ada tetapi hari yang sama pada pukul 23.30 wib bisa saja tersingkir dan namanya pindah dan tercantum di sekolah pilihan kedua karena perbedaan nilai hasil ujian. Beruntung jika masih tercantum di sekolah pilihan kedua... kalau tidak...bisa jadi orangtuanya “ketok-ketok pintu belakang” sekolah yang dituju....ada ungkapan begini “ kalau untuk anak... biar bisa sekolah.... kepala jadi kaki, kaki jadi kepala ane jabanin dah !” ungkapan ini bermakan bias bahwa saat ini sudah begitu sangat sadarnya orangtua akan pentingnya pendidikan atau orangtua malah terjebak dan rela menempuh “cara apapun” yang penting anaknya bisa sekolah....pertanyaannya apakah benar prinsip dari ungkapan seperti itu ? Ternyata ada hal yang lebih penting dari itu semua yaitu proses orang tua membimbing dan mengarahkan anak untuk belajar di rumah adalah yang utama apalagi mereka masih dibawah umur,  jadi tidak hanya mengandalkan proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah...beruntung jika pihak sekolah mampu mengemban tugas itu dengan baik kalau tidak akan sangat tragis nilai anak menjadi anjlok dan kitapun terpaksa ketok pintu belakang sekolah yang dituju dengan beberapa rupiah yang kita punya....kemudian setelah anak kita diterima lalu kita lepas tangan lagi untuk membimbing dan mengarahkannya belajar......nanti nilai anak anjlok lagi dan kita ketok pintu belakang lagi....(itu juga kalau masih ada pintu belakang).....Terima kasih...selamat belajar...!


Senin, 23 Mei 2016

Mau dikemanakan seragam sekolah ini ?

Sebentar lagi tahun ajaran baru akan datang. Ujian Nasional (UN) dari Tingkat SMU sampai SD sudah selesai. Murid kelas akhir tinggal menunggu pengumuman kelulusan dan pengumuman nilai hasil UN. Selesai UN dari sekarang sudah harus menentukan kira-kira sekolah mana yang akan di pilih selanjutnya dengan segala pertimbangan. Sementara itu baju seragam sekolah yang sudah tidak dipakai lagi nantinya mau diapakan, mau dikemanakan ? kalau misalnya satu SD meluluskan 2 (dua) kelas atau sekitar 60 orang dengan asumsi satu kelas diisi 30 orang, berarti ada sekitar 60 seragam sekolah yang tidak dipakai lagi, lalu jika setiap murid mempunyai 2 (dua) pasang seragam sekolah berarti jumlahnya 2 kali lipat. Ini baru dari satu sekolah SD. Bayangkan berapa banyak seragam sekolah yang tidak dipakai ? apakah masih bisa dimanfaatkan atau disumbangkan ? bagaimana jika kita bisa menampung seragam sekolah dari tingkatan SD, SMP hingga SMU dalam satu kota/kabupaten. Tentu banyak yang bisa diperbuat. Pertama; Rapat para anggota Komite Sekolah seharusnya tidak hanya memikirkan bagaimana acara perpisahan sekolah tapi harus lebih dari itu, misalnya acara perpisahan dilakukan dengan mengadakan bazaar baju seragam layak pakai (seragam bekas) yang berasal dari sumbangan wajib dari murid yang akan lulus tahun ini; bagi adik kelas yang berminat untuk mendapatkan baju seragam itu harus membayar misalnya Rp. 10.000,- /kupon yang nantinya kupon tersebut akan ditukarkan dengan seragam yang mereka pilih di stand bazaar yang digelar disekolah mereka. Tinggal mencocokan ukurannya saja. Pembagian kupon harus adil dan merata. Uang hasil penjualan kupon nantinya untuk biaya penyelenggaraan bazaar seperti sewa tenda, konsumsi, kebersihan dsb. Kedua; jika tidak diadakan bazaar di sekolah itu maka seragam sekolah hasil sumbangan murid yang akan lulus dikumpulkan oleh Komite Sekolah untuk disumbangkan ke sekolah mitra atau sekolah binaan yang masih butuh seragam layak pakai. Sumbangan seragam sekolah adalah satu bentuk kepedulian sosial kepada siswa lainya karena masih banyak yang kurang beruntung yaitu mereka yang punya seragam sekolah satu-satunya, pulang sekolah seragam sekolah dipakai main, sore dicuci, malam dijemur, pagi dipakai lagi untuk sekolah. Warnanya sudah berubah dari putih menjadi putih kusam belepotan gak karuan. Untuk alternatif yang kedua ini perlu dukungan dari pihak berwenang Dinas Pendidikan agar setiap sekolah mempunyai mitra sekolah binaan. Misalnya SD swasta diwajibkan mempunyai SD mitra binaan yang levelnya masih kurang (ditentukan indikatornya atau cari data di Dinas pendidikan bisa jadi diluar kota) dari penyediaan seragam murid, sarana dan prasarana sekolahnya dsb. Hal ini dilakukan untuk kurun 5 (lima) tahun berturut-turut tanpa dikenakan biaya apapun, karena program ini dimasukan sebagai salah satu bentuk CSR sekolah swasta. 5 tahun kemudian SD swasta ini berpindah ke sekolah mitra binaan yang baru lagi. Mungkin lebih baik diberikan kepada mereka daripada nyempit-nyempitin lemari pakaian. By Muhlisin.

Selasa, 05 April 2016

Keamanan minimarket



Sangat mudah buat kita saat ini mencari makanan dan minuman ringan serta kebutuhan lainnya karena semakin bertebaran minimarket yang saling berdekatan malah ada yang bersebelahan yang bikin kita bingung. Menurut data pada tahun 2012  terdapat 10.000-an gerai minimarket inipun hanya untuk dua buah minimarket terkenal. Lalu bagaimana toko atau ritel-ritel tradisional yang bermodal kecil karena begitu banyaknya pertumbuhan usaha ritel modern melalui waralaba dikhawatirkan bakal mematikan usaha pedagang ritel tradisional dan secara tidak disadari sistem ekonomi kita menjadi demokrasi ekonomi yang tidak pro rakyat. Okelah saya tidak ingin membahas ini lebih jauh karena sudah ada aturan Perpres dan Permendag yang mengatur bahkan ada Perda tentang Pasar Modern  pada tingkatan Kabupaten/Kota tapi di lapangan kenyataannya seperti yang kita lihat sekarang.

Tenaga kerja yang ada di minimarket jika kita perhatikan mempekerjakan sekitar 3-6 orang, masing-masing tugasnya antara lain sebagai kasir bisa 2 orang, bagian logistik/gudang/stok barang  1 atau 2 orang, dan satu orang kepala unit toko. Kalau dilihat dari segi marketing minimarket tersebut membuka gerai di daerah yang padat penduduknya artinya mobilitas penduduk di daerah tersebut tinggi terutama untuk tujuan belanja eceran, cepat dan lengkap (bisa pesan tiket kereta pula dan mungkin tahun 2025 kita bisa jual-beli tanah bersertifikat di sini he he).

Ya...cepat, lengkap, bersih dan nyaman kita dapatkan belanja diminimarket tapi keamanan saat belanja bagaimana ? karena berada di lokasi yang padat penduduk maka parkir kendaraan pembeli juga harus diperhatikan. Pemasangan CCTV tentu tidak dapat mencegah orang yang akan berbuat kejahatan karena sampai saat ini masih ada gerai yang kehilangan motor di parkiran bahkan mesin ATM-nya di bobol dan biasanya ini terjadi di gerai minimarket dimana tidak ada UMKM yang berjualan di sisi toko. Semoga asumsi saya salah bahwa semakin banyak minimarket di suatu daerah maka semakin banyak zona merah rawan Curanmor di daerah tersebut. Gerobak UMKM seperti penjual kebab, jus, martabak atau gerobak kakilima lainnya sesungguhnya secara tidak langsung punya peran menjaga keamanan parkir para pedagang inilah yang harus terus diberikan ruang untuk berjualan di sisi toko, diatur sedemikian rupa posisi gerobaknya supaya pengawasan kendaraan yang parkir mudah dilakukan, ya paling tidak pencuri mengurungkan niatnya karena ada saksi yang melihat. Hal ini perlu dilakukan untuk seluruh gerai minimarket apalagi pegawai mereka memang tidak ada yang khusus ditugaskan menjaga keamanan di luar toko. Perlu dipertimbangkan juga dalam gambar perizinan siteplan gerai minimarket wajib dilengkapi ruang dan dimansi untuk berjualan gerobak UMKM.

By Muhlisin

Kamis, 03 Maret 2016

BALAI WARGA DI KOTA TANGERANG SELATAN



Bagus ya modelnya, rumah gaya betawi romannya bang ? ”, demikian kutipan ucapan seorang warga ketika dia melihat sebuah bangunan yang tengah dibangun di kampungnya.  Mungkin mengingatkan masa kecilnya ketika zaman dahulu rumah model betawi seperti itu banyak dilihat hampir disetiap pelosok Kota Tangerang Selatan. 

Ini adalah bentuk bangunan Balai Warga yang memang sengaja ingin mengangkat identitas lokal. Kota Tangerang Selatan yang berdekatan dengan Kota Jakarta tentu banyak juga dipengaruhi oleh seni dan kebudayaan Betawi. Lalu bagaimana supaya bangunan Balai warga ini kemudian menjadi berfungsi sesuai yang diharapkan ? Balai warga ini tentu bukan sekedar ungkapan nostalgia kenangan lama tapi diharapkan agar generasi sekarang mengetahui serta dapat memanfaatkan sebaik-baiknya dan dibangun bukan untuk menjadi bangunan monumen.

Dinas Tata Kota, Bangunan dan Pemukiman Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016 ini juga masih akan membangun beberapa unit Balai Warga. Memang tidak setiap RW akan dibangunkan Balai Warga karena terbatas dan mahalnya harga tanah di Kota Tangerang Selatan. Balai Warga yang sudah terbangun juga banyak memakai tanah Fasos/fasum dan tanah kas kelurahan yang sudah di serahkan menjadi aset Kota Tangerang Selatan. 

Sebenarnya ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan dengan telah berdirinya bangunan Balai warga di setiap Kecamatan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Balai Warga ini dapat dimanfaatkan rapat dan pertemuan warga sudah pasti, sebagai latar belakang setting pementasan lenong, sebagai tempat berkumpulnya warga ketika merayakan 17 agustusan, pengajian, majelis taklim, pengambilan gambar untuk shooting sinetron bertema Betawi dan juga dapat dimanfaatkan sebagai latar belakang untuk pengambilan gambar foto pre-wedding bagi pasangan warga Kota Tangerang Selatan yang ingin melangsungkan pernikahan dsb

Untuk kedepannya mungkin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Selatan dapat menyumbangkan beberapa aksesories pelengkap kebudayaan Betawi menjadi bagian dari Balai warga ini antara lain sepasang ondel-ondel dan kursi bulat model Betawi dapat disandingkan di teras Balai Warga ketika ada perhelatan acara, DKPP dapat menempatkan lampu PJU & Tong sampah dan penataan taman pada halaman bangunan Balai Warga, DBMSDA dapat membantu menempatkan program perkerasan jalan (paving/aspal) di sekitar bangunan Balai Warga dsb. Semoga bermanfaat buat warga Kota Tangerang Selatan.

Dasar kebutuhan ruang dan lahan untuk Balai Warga
Dasar penyediaan sarana pemerintahan dan pelayanan umum untuk melayani setiap unit administrasi pemerintahan baik yang informal (RT dan RW) maupun yang formal (Kelurahan dan Kecamatan) bukan didasarkan semata-mata pada jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Dasar penyediaan sarana ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit unit atau kelompok lingkungan yang ada. Tentunya hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sedangkan penempatan penyediaan sarana mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait
Kebutuhan lahan pada unit RW dengan jumlah penduduk minimal 2.500 jiwa penduduk yang terdiri dari 8 – 10 RT maka membutuhkan 1 unit bangunan balai pertemuan warga dengan luas lahan minimal 300 m². Balai pertemuan tersebut sekaligus sebagai penyediaan kebutuhan bagi sarana kebudayaan dan rekreasi dan dipakai secara saling berintegrasi. (dikutip dari buku SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan).

By Muhlisin




Selasa, 09 Februari 2016

pilah pilih sampah..

Tanpa rasa lelah tiap hari dia harus membungkus sampah dan membuangnya ke tempat yang disebut tempat sampah, ini adalah  kebiasaannya dan hampir di setiap pagi dia lakukan. Sampah yang dia bawa ini memang sudah dipilah. Ternyata sampah plastik sebelumnya sudah dipisahkan dan diberikan kepada tetangga sebelah rumahnya yang mempunyai kegiatan mengumpulkan sampah plastik yang dapat didaur ulang. Dia bilang memilah sampah tidak begitu menyulitkan cuma butuh sedikit rasa peka kepada lingkungan tapi rupanya dengan bangga dia bilang kebiasaan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai pemikiran out of the box saja menurutnya. Kenapa ? coba kita lihat dari sudut  pandang profesi tak semua orang mau mengambil dan mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kembali. `Padahal  Ini bukan pekerjaan hina dan juga bukan pekerjaan yang sifatnya mengambil hak orang lain, seharusnya mereka diberi penghargaan karena mengurangi volume sampah yang masuk bak sampah yang akhirnya mengurangi volume sampah di TPA. Namun pandangan sempit kebanyakan orang menganggap itu  adalah pekerjaan kotor yang memalukan dan hanya untuk orang bodoh yang kurang beruntung. Jadilah mereka berprofesi sebagai pemulung. Padahal disinilah letaknya bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk memilah sampah efeknya menimbulkan sebuah profesi pemulung dan selama kita belum mampu memilah sampah maka mereka akan tetap ada. Artinya selama itu juga masyarakat masih dalam berada dalam tempurung dan berpikir konvensional. Padahal memilah sampah itu hanya tindakan sederhana namun sebuah lompatan besar.

ilustrasi pertama: Sebuah keluarga yang disekitar rumahnya tidak ada tempat sampah dan jauh dari bak sampah akhirnya meminta jasa pemungut/pemulung sampah untuk mengambil sampah dari rumahnya yang disiapkan dalam satu tong sampah depan rumahnya. Tiap bulan si empunya rumah membayar Rp. 30.000,-  kepada pemungut sampah. Lalu apa yang terjadi, sekeluarga dalam rumah itu membuang benda apapun kedalam satu tong sampah karena dianggap persoalan sampah sudah diselesaikan dengan membayar tiap bulan. Apa betul begitu ? lalu tahukah mereka soal prinsip reduce, reuse dan recycle tentang sampah. Tahukah mereka bahwa kota tempat mereka tinggal juga bingung mengurusi sampah yang kian bertambah. Lalu bagaimana kita memberikan contoh kepada keluarga kita sendiri terutama menanamkan memilah sampah sejak dini kepada anak-anak ?


Ilustrasi kedua : Pemungut sampah dari rumah tersebut diatas ternyata memilah sampah dari tong yang dia ambil setiap dua hari sekali. Hasilnya banyak benda-benda yang dia kumpulkan untuk dijual kembali seperti koran, majalah dan buku bekas, kaleng, botol dan bahan-bahan plastik yang dapat didaur ulang dsb. Disini pemungut sampah “menang banyak”, tiap bulan dapat bayaran dan dapat tambahan pemasukan dari pemilahan sampah. Hitungan ini baru satu rumah saja. Coba bayangkan, malah ada pemulung yang berani membayar untuk tiap truk sampah yang mengumpulkan sampah dari komplek perumahan besar. Disinilah persoalan lain muncul. Kesempatan dalam kesempitan yaitu komersialisasi sampah. Seakan truk sampah kota hanya berorientasi melayani dan mengangkut sampah di lingkungan perumahan besar, pasar dan jalan utama saja. Lalu yang tidak terlayani dimangsa oleh pemungut sampah yang “menang banyak” tadi atau mereka tidak ingin mengeluarkan biaya akhirnya membuang sampah di pinggir jalan. Disini sampah tidak pernah selesai.

Dalam ilustrasi pertama seharusnya pemungut sampah tidak perlu mendapat bayaran perbulan tetapi mereka mendapat bayaran berupa sampah yang dapat didaur ulang dan bernilai jual sebagai imbalan mengumpulkan sampah dari tiap siempunya  tong sampah rumahan. Begitu juga tempat belanja atau mall besar menyediakan unit khusus penukaran sampah-sampah plastik yang dapat ditukar dengan kantong belanja ramah lingkungan atau sejenisnya. Intinya persoalan sampah tidak selesai dengan membayar  karena persoalan sampah adalah persoalan bersama dan harus diselesaikan mulai dari diri sendiri.


By Muhlisin.

Kamis, 07 Januari 2016

MENCARI PSU



Rumah, Taman, jalan dan saluran serta fasos dan fasum adalah sesuatu yang harus diperhatikan pada saat melihat sebuah siteplan perumahan. Tak peduli kita tengah berada dalam posisi sebagai calon pembeli atau memang sebagai kelompok masyarakat yang peduli akan perumahan karena sudah sifatnya kenyataan di lapangan pengembang besar dan pengembang kecil sama nakalnya. Banyak celah yang masih dimanfaatkan pengembang guna mengeruk keuntungan yang lebih besar. Dari sudut kepemilikan dan luasan hak pembeli memang tidak ada yang dirugikan namun secara teknis lingkungan hunian sebenarnya banyak yang dirugikan karena merumahkan manusia bukan hanya bangunan fisik saja tapi ruang terbuka, ruang bersama dan fasilitas adalah sesuatu yang juga penting dalam membentuk karakter keluarga yang hidup dan berkehidupan didalamnya.

Jika kita melihat bahwa kriteria rumah yang layak dan sehat untuk dijadikan tempat tinggal adalah apabila rumah tersebut memiliki dinding terluas yang terbuat dari tembok atau kayu, atap terluas berupa beton atau genteng serta luas lantai terluas bukan berupa tanah. Selain itu menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu kriteria rumah sehat adalah rumah yang memiliki luas lantai per orang minimal 10 m². Sedangkan menurut pedoman rumah sederhana sehat, kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktifitas dasar manusia di dalam rumah yang meliputi, tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci, masak dan ruang gerak lainnya. Sementera menurut Kementerian Kesehatan, salah satu persyaratan rumah sehat adalah jika penguasaan luas lantai perkapitanya minimal 8 m². Dan jika melihat hasil kajian, maka kebutuhan ruang per orang adalah 9 m² dengan perhitungan rata-rata ketinggian langit-langit adalah 2,80 m. (*indikator kesejahteraan rakyat, BPS 2011)

Pengembang dengan tenaga arsitekturnya tentu punya pemahaman yang lebih dalam mengenai persyaratan teknis bangunan dan dimensinya seperti uraian diatas. Namun perhitungan komposisi dan material menjadi pertimbangan utama komponen biaya. Angka akhirnya tentu mempengaruhi berapa besar keuntungan yang akan diperoleh. Belum lagi masih ada perhitungan komponen biaya cadangan yang memang disiapkan oleh pengembang jika sewaktu-waktu tidak menjadi biaya real yang harus dikeluarkan tentu bertambah lagi keuntungannya. Pertanyaannya adalah apakah seorang pengembang atau kelompok pengembang mengerti persyaratan teknis suatu bangunan atau lingkungan hunian atau pura-pura tidak tahu dan menyerahkan tanggungjawabnya kepada kontraktor/pemborong ? Lalu apakah juga kenyataan dilapangan komposisi lahan terbangun dan tidak terbangun 60-40 juga terlaksana ? jawabannya,  pertama akan terlaksana jika tidak mempengaruhi rupiah keuntungan dan jawaban kedua akan tetap terlaksana tapi dengan mengorbankan kepentingan penghuni. Bisa jadi letak taman dan fasos/fasum berada di posisi yang memanjang di pojok perumahan yang gelap dan sepi berbatasan dengan TPU dan walhasil tidak pernah ada penghuni yang mau singgah. Padahal dalam Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas perumahan dan Permukiman di daerah Pasal 3 huruf C menginginkan terciptanya kepastian hukum ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas di lingkungan perumahan dan permukiman sesuai dengan standar, rencana tapak yang disetujui oleh pemerintah daerah, serta kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Lalu jika sebuah kota ingin menata sistem sarana dan prasarana dasar perkotaan yang ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan melalui penyediaan infrastruktur dasar dan fasilitas umum dan sosial,  tapi kenyataannya dilapangan beberapa pengembang perumahan ternyata siteplannya tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan di lapangan (eksisting), tanah belum dibebaskan/tanah diserobot warga, lahan fasos/taman di serobot/dijual ke  penghuni, tidak ada plang nama perumahan, ada pertukaran lokasi kavling dalam satu cluster, lahan fasos/fasum berada di atas saluran air dan nama perumahan yang tidak sesuai dengan lokasi/wilayah domisili. Dari mana mulai menatanya ?

By muhlisin