Tanpa rasa lelah tiap hari dia harus membungkus sampah dan membuangnya ke
tempat yang disebut tempat sampah, ini adalah
kebiasaannya dan hampir di setiap pagi dia lakukan. Sampah yang dia bawa
ini memang sudah dipilah. Ternyata sampah plastik sebelumnya sudah dipisahkan
dan diberikan kepada tetangga sebelah rumahnya yang mempunyai kegiatan
mengumpulkan sampah plastik yang dapat didaur ulang. Dia bilang memilah sampah
tidak begitu menyulitkan cuma butuh sedikit rasa peka kepada lingkungan tapi
rupanya dengan bangga dia bilang kebiasaan ini hanya dapat dilakukan oleh orang
yang mempunyai pemikiran out of the box
saja menurutnya. Kenapa ? coba kita lihat dari sudut pandang profesi tak semua orang mau mengambil
dan mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kembali. `Padahal Ini bukan pekerjaan hina dan juga bukan
pekerjaan yang sifatnya mengambil hak orang lain, seharusnya mereka diberi
penghargaan karena mengurangi volume sampah yang masuk bak sampah yang akhirnya
mengurangi volume sampah di TPA. Namun pandangan sempit kebanyakan orang
menganggap itu adalah pekerjaan kotor yang
memalukan dan hanya untuk orang bodoh yang kurang beruntung. Jadilah mereka
berprofesi sebagai pemulung. Padahal disinilah letaknya bahwa ketidakmampuan masyarakat
untuk memilah sampah efeknya menimbulkan sebuah profesi pemulung dan selama
kita belum mampu memilah sampah maka mereka akan tetap ada. Artinya selama itu
juga masyarakat masih dalam berada dalam tempurung dan berpikir konvensional. Padahal
memilah sampah itu hanya tindakan sederhana namun sebuah lompatan besar.
ilustrasi pertama: Sebuah keluarga yang
disekitar rumahnya tidak ada tempat sampah dan jauh dari bak sampah akhirnya
meminta jasa pemungut/pemulung sampah untuk mengambil sampah dari rumahnya yang
disiapkan dalam satu tong sampah depan rumahnya. Tiap bulan si empunya rumah
membayar Rp. 30.000,- kepada pemungut
sampah. Lalu apa yang terjadi, sekeluarga dalam rumah itu membuang benda
apapun kedalam satu tong sampah karena dianggap persoalan sampah sudah
diselesaikan dengan membayar tiap bulan. Apa betul begitu ? lalu tahukah mereka
soal prinsip reduce, reuse dan recycle tentang sampah. Tahukah mereka
bahwa kota tempat mereka tinggal juga bingung mengurusi sampah yang kian
bertambah. Lalu bagaimana kita memberikan contoh kepada keluarga kita sendiri
terutama menanamkan memilah sampah sejak dini kepada anak-anak ?
Ilustrasi kedua : Pemungut sampah dari rumah
tersebut diatas ternyata memilah sampah dari tong yang dia ambil setiap dua
hari sekali. Hasilnya banyak benda-benda yang dia kumpulkan untuk dijual
kembali seperti koran, majalah dan buku bekas, kaleng, botol dan bahan-bahan
plastik yang dapat didaur ulang dsb. Disini pemungut sampah “menang banyak”, tiap bulan dapat
bayaran dan dapat tambahan pemasukan dari pemilahan sampah. Hitungan ini baru
satu rumah saja. Coba bayangkan, malah ada pemulung yang berani membayar untuk
tiap truk sampah yang mengumpulkan sampah dari komplek perumahan besar.
Disinilah persoalan lain muncul. Kesempatan dalam kesempitan yaitu komersialisasi
sampah. Seakan truk sampah kota hanya berorientasi melayani dan mengangkut
sampah di lingkungan perumahan besar, pasar dan jalan utama saja. Lalu yang tidak
terlayani dimangsa oleh pemungut sampah yang “menang banyak” tadi atau mereka tidak ingin mengeluarkan biaya
akhirnya membuang sampah di pinggir jalan. Disini sampah tidak pernah selesai.
Dalam ilustrasi pertama seharusnya pemungut sampah tidak perlu mendapat bayaran perbulan tetapi
mereka mendapat bayaran berupa sampah yang dapat didaur ulang dan bernilai jual
sebagai imbalan mengumpulkan sampah dari tiap siempunya tong sampah rumahan. Begitu juga tempat
belanja atau mall besar menyediakan unit khusus penukaran sampah-sampah plastik
yang dapat ditukar dengan kantong belanja ramah lingkungan atau
sejenisnya. Intinya persoalan sampah tidak selesai dengan membayar karena persoalan sampah adalah persoalan
bersama dan harus diselesaikan mulai dari diri sendiri.
By Muhlisin.
1 komentar:
Sepakat, betul Pak
Posting Komentar