Selasa, 07 Oktober 2008

Air-2

Kalau ada pernyataan seperti ini :

Luas hutan Jawa yang hanya 22 persen dari luas daratan jelas tidak akan mampu menopang kebutuhan siklus aliran air dan konservasi hidrologi secara sempurna bagi penduduk Jawa yang mencapai sekitar 150 juta jiwa ini. Yang harus dilakukan kini adalah menyusun suatu peta posisi lahan dikaitkan dengan kebutuhan perlindungan ekosistem lingkungan yang memuat kelas lereng, jenis penutupan dan perlakuan lahan, kondisi klimat serta nilai konservasi hidrologisnya terhadap lingkungan. Fokus pengelolaan daerah aliran sungai DAS terpadu hendaknya diprioritaskan pada daerah yang memiliki nilai konservasi berdampak penting dan luas ” ¹).Artikel di kompas.

Artikel di atas lebih mengandalkan alam sebagai suatu siklus hidrologi yang harus menanggung sendiri keseimbangannya. Lalu di mana peran mahluk lainnya terutama manusia yang selalu butuh air yang katanya sumber kehidupan ? Bagaimana cara menyeimbangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah kita melihat atau mendengar ramalan cuaca ? mungkin cuma penting untuk jadwal penerbangan di bandara, atau barangkali kita gak peduli sama sekali dengan yang satu ini. Kalau disebut cuaca hari ini untuk kota X cerah, berawan atau hujan apa sih maknanya ? terus mau ngapain lagi, kalau mau hujan ya hujan aja, kalau mau panas ya silakan atau berawan no problem. Time goes on…..

Tapi ternyata, daerah kita (seluruh Indonesia kayanya) kalau hujan kebanjiran dan kalau musim panas kekeringan. Cerita kekurangan air dan banjir saat ini sudah tidak pantas lagi diangkat (cerita lama yang sudah basi dan berkarat). Dan kalau dari tahun ke tahun ceritanya itu saja ngapaian lagi diekspose.

Hal sebaliknya yang mestinya diangkat. Sedia payung sebelum hujan itu benar dan lebih benar sediakan juga gentong, ember, bak atau apa saja yang dapat menampung hujan itu. Repot amat...!?! ya memang repot dan memang tidak pernah di acara ramalan cuaca menyebut atau menyuruh warga yang diramalkan di daerahnya akan turun hujan disuruh menyiapkan wadah untuk menampung air hujan. Lucu !..gak juga...tapi seharusnya memang demikian kalau informasi cuaca menjadi suatu yang berharga. Konsekuensi lainnya dari pentingnya menampung air hujan ini design rumah-rumah baru oleh developer tidak hanya ada ruangan terbuka saja tapi benar-benar ada ruang untuk bak penampungan air hujan secara khusus yang didesign sedemikian rupa menjadi suplai bagi sumber air bersih di rumah.

M U H L I S I N – Lapak - PWK, Institut Teknologi Indonesia.

AIR -1

Air mempunyai nilai pada saat ada perlakuan terhadapnya. Perlakuan secara fisik secara langsung dapat kita temukan misalnya pada produk hasil olahan dimana air sebagai bahan utama produk, seperti air mineral, minuman suplemen dsb kemudian dijual dan kita perlu mengeluarkan beberapa rupiah lebih tinggi dari harga air biasanya untuk volume air yang sama. (Di wilayah Matraman – Jakarta Timur, dua jerigen atau 40 liter air bersih harganya sekitar Rp.1500,-). Dalam skala rumah tangga secara sederhana hal ini dapat kita temukan dalam kegiatan memasak air. Air mentah yang belum dimasak tidak terlalu berharga karena belum ada perlakuan terhadapnya, paling hanya untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Tapi kalau sebaliknya apakah ada orang yang mau mempergunakan air telah dimasak untuk kegiatan MCK ini ? Karena telah ada energi yang diserapnya dari hasil kerja kompor yang untuk menyalakannya perlu beberapa rupiah sebagai bahan bakar berupa gas atau minyak tanah. Atau barangkali akan terjadi dimana suatu saat kita akan membeli air secara eceran yang dijual dalam kemasan untuk keperluan mandi, cuci dan memasak (seperti isi kampanye selamatkan air dari sebuah LSM lingkungan).

Untuk air yang berasal dari PAM juga mengalami hal yang sama, untuk memproduksi air bersih yang bersumber dari air permukaan, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Sebab, proses pengolahannya menggunakan tenaga listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Tarif listrik dan BBM yang dibebankan kepada PLN bukan harga bersubsidi, tetapi harga untuk kategori industri. Di samping itu dibutuhkan bahan kimia yang penjualannya menggunakan mata uang dolar AS. ¹)

Untuk perlakuan fisik secara tidak langsung terhadap air yang dapat dijadikan contoh misalnya pelestarian hutan atau daerah tangkapan air untuk keberlangsungan pasokan air, ini adalah logika sederhana yang positif.

Kemudian perlakuan terhadap air secara negatif misalnya semakin banyaknya daerah tangkapan air yang kini sudah disemen, dibuat bangunan, berkurangnya daerah terbuka dsb menyebabkan volume air yang mengalir di permukaan tanah (run-off) besar. Akibatnya ketersediaan air tanah berkurang karena air tak terserap dan yang terjadi pada daerah lain adalah banjir. Lalu berapa besar kerugian yang ditanggung oleh warga yang kebanjiran ? kalau 2 – 3 hari rumahnya terendam air setinggi 0,5 – 1 meter. Pernyataan kedua ini bukan suatu logika sederhana yang mudah dipahami. Bagaimana tidak, kalau telah kita diketahui betapa sulitnya membatasi pembangunan rumah di daerah hulu. Pembatasan dan aturan hanya berdinding kertas, pembuat aturan dan penerima aturan sama-sama ingin melanggarnya guna kepentingannya masing-masing. Ilustrasi seperti apa yang cocok bagi mereka apakah cukup dengan prinsip ”think globally act locally” ? So what gitu lo….

Fungsi sosial air yang terganggu (No money no water).

Air merupakan barang ekstra esensial bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini (mudah-mudahan tidak). Di sisi lain kita juga sering bersikap take it for granted terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya water-diamond paradox, dimana air yang begitu esensial dihargai sangat murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dihargai begitu mahal. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial jadi sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat. Melihat kekhawatiran seperti inilah maka sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai barang public murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan main. ²) Tapi apakah peraturan itu berpihak kepada masyarakat luas ? dan bukan kepada pihak swasta yang hanya mencari untung sendiri. Di Indonesia masih banyak penduduk yang memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari langsung dari sumber air (air sungai, danau, mata air waduk, dll) Jika kemudian sumbernya dikuasai oleh pihak badan usaha swasta, jelas akan banyak penduduk yang akan kehilangan akses mereka terhadap air. Mereka tidak bisa lagi mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari karena swasta tentunya akan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengamankan aset mereka, yang itu juga berarti limitasi akses bagi pengguna lainnya.³).

M U H L I S I N – Lapak - PWK, Institut Teknologi Indonesia.

Sumber :

¹) PDAM masih terpuruk, Kompas 23 April 2004

²) Implementasi UU SDA, Kompas 15 Maret 2004

³) Privatisasi Air Minum, Kompas 4 Maret 2005

Kuliah sebagai salah satu bentuk Tanggung Jawab Moral

Kuliah sebagai salah satu bentuk Tanggung Jawab Moral

Sebagian besar manusia tidak mendisiplin dirinya untuk tetap belajar. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21 tahun, telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup (kawin), telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah, telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, telah beranak pinak, telah kaya raya, dan seterusnya. Hal-hal itu membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami keajaiban-keajaiban dalam kehidupannya sehari-hari.

Dengan merasa dewasa seperti itu maka proses pembodohan atau bahasa halusnya dehumanisasi dimulai. Jakob Sumardjo, budayawan asal Klaten mengatakan bahwa “ tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari”. Lalu bagaimana kalau tidak belajar selama sekian bulan, sekian tahun atau sekian puluh tahun ? yang terjadi bukan hanya kemunduran tetapi “pembusukan” dan “pembinatangan” diri menjadi tidak manusiawi. (andreas harefa;2000)

Tapi belajar pun jangan diartikan dalam arti sempit. Semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. Kalaupun ada yang mau sekolah S-2 atau S-3 itu hanya pilihan orang masing-masing. Kalau ada waktu dan biaya silakan saja. Tapi ngomong-ngomong ternyata kata sekolah itu asal usulnya dari kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Alkisah, orang Yunani kuno dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama : “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.

Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga masyarakat Yunani kuno. Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang nantinya diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang atau tempat di mana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Maka, sejak itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ ibu yang memberikan ilmu(alma mater). Waktu terus berlalu, dan akhirnya sampai pada kata sekolah yang kita kenal hingga saat ini. (Roem Tomatimasang, 1998)

Jadi pada saat orang tua menyekolahkan anaknya pada institusi tertentu sesungguhnya telah terjadi pengalihan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada lembaga yang bernama sekolah. Dan kegiatan untuk konsisten belajar menjadi tanggung jawab si siswa yang dititipkan hingga lulus sekolah. Tapi ternyata hasilnya sebagian besar yang telah menyandang gelar akademis rupanya tidak lagi membaca buku-buku berisi ilmu pengetahuan yang relevan dengan titelnya. Sebuah studi menyatakan bahwa rata-rata seorang sarjana S-1 setidaknya pernah mampu membaca sekitar 40 buku untuk dapat menulis skripsinya (tentunya yang bukan jiplakan atau hasil transaksi pinggir jalan). Namun setelah “tamat” syukur-syukur masih baca koran dan majalah. Sulit ditemukan perpustakaan yang paling sederhana dan primitif sekalipun, di rumah-rumah para pemilik gelar yang sudah merasa pintar dan tamat belajar. Sebuah rumah yang memajang 100-200 buku saja sudah dianggap kutu buku.

Dan kini pertanyaannya apakah kita masih bisa bertanggung jawab pada kuliah kita ? Kalau tidak, buat apa cuma buang-buang waktu, duduk, mendengar dan mencatat atau sekedar mengisi waktu luang kumpul-kumpul bersama teman sebaya.

By Muhlisin

Minggu, 24 Agustus 2008

Menjadi kota

Ringkasan Dari buku Menari Di Antara Sawah Dan Kota (Yogyakarta)

(Karangan Imam Setyobudi, Magelang, Indonesiatera 2001).

Kota Yogya sebagai magnet bagi daerah sekitarnya. Kota atau desa dianggap ruang kosong yang boleh diisi oleh semua orang.

Petani di DI yogyakarta dalam jumlah terbatas secara umum memiliki cara bercocok tanam di lahan sawah yang memiliki pengairan teknis sebagai teknologi utama dan dianggap juga sebagai dasar utama kehidupan mereka. Tipe petani-petani jawa ini adalah masyarakat sedentary (menetap dan tidak mau berpindah-pindah). Selain itu mereka juga masih memiliki keterikatan yang kuat pada nilai-nilai dan ikatan tradisional terutama yang berkaitan dengan tanah. Tapi realitasnya ternyata petani harus berbenturan dengan kenyataan di luar yang mendorong menjauhkan petani dengan tanahnya sebagai basis produksi.

Implikasinya, penduduk petani yang berada di daerah pinggiran, di kawasan pengembangan perkotaan melakukan urbanisasi dalam artian pasif. Dia tidak beranjak. Dia menghadapi suatu perubahan lingkungan, tidak saja dari adanya lahan-lahan sawah yang beralih fungsi tapi juga beralih kepemilikan ke tangan orang kota. Diantara kanan kiri sawah mereka tumbuh bangunan. Mereka pun mengalami pengalaman-pengalaman baru dari lingkungan barunya yang mulai berubah dari desa menjadi kota.

Dampak pembangunan atau pemekaran kota ternyata tidak memberikan tempat lagi bagi penduduk asli dalam proses produksi ekonomi kota yang tidak bertumpu pada lahan sawah. Akhirnya mereka terputus dari ikatan dengan lahan sawah dan tradisi. Proses ekspansi kawasan perkotaan terhadap pedesaan terjadi saat sistem produksi ekonomi rumah tangga petani tidak merupakan bagian integral dari proses produksi ekonomi rumah tangga orang kota. Yang terjadi adalah proses keluar dari sektor produksi pertanian (off farms sectors).

Karakteristik tanah di Yogyakarta terbentuk dari fluvis vulkanik flut plan yang banyak mengandung pasir dan sebagian terjadi dari endapan lava gunung merapi sehingga rata-rata tanahnya merupakan jenis regosol atau tanah abu vulkanik. Ini merupakan tanah yang subur bagi jenis tanaman padi sawah, terutama di kawasan yang berada di kawasan pinggiran kota Yogyakarta.

Yogyakarta yang sekarang ini merupakan arena “pertempuran” , ada nilai-nilai pluralitas yang saling bertempur di sana. Dan budaya petani tidak terwakilkan dan tertampilkan.

Kawasan mana yang menjadi milik petani ? bahwa gerak aktivitas mereka tidak jauh-jauh melampaui batas wilayah kecamatan. Pergi ke kota bukan untuk refreshing, tapi karena ada suatu kebutuhan yang dicari. Mungkin untuk mencari sadel sepeda, alat petukangan, alat penyemprot atau alat rumah tangga.

Ada jarak sosial, jarak perasaan dan jarak pengalaman antara petani dan warga-warga baru/perumahan di sekitar areal persawahan. Sementara aktivitas diantara para petani dalam sehari-harinya pada dasarnya membikin penyatuan perasaan dan pengalaman. Ada hal-hal yang dilakukan bersama. Interaksi sosial semacam ini bisa terjadi selama di pinggir sawah, sambil makan, dan duduk-duduk di pinggir jalan tanpa alas sama sekali kecuali celana lusuh dan kotor. Topik pembicaraan tidak jauh sekitar soal sawah dsb.

Pada dasarnya, sulit mencari petani yang menjadi petani, jika bukan karena faktor orang tuanya adalah petani juga. Kebanyakan mereka menemukan dunia sebagaimana dunia petani setelah melakukan aktivitas-aktivitas kepertanian semenjak kecil, lewat memperhatikan atau sengaja sedang membantu orangtuanya.

Dinas pertanian DI Yogyakarta mengartikan bahwa “ seseorang yang memiliki satu pohon buah pun dapat dikatakan sebagai petani”. Inilah sisi pengaruh dari perkembangan tata ruang kota, dimana pemerintah daerah kota/kotamadya dihadapkan pada realitas bahwa petani di daerahnya masih ada meskipun jumlahnya sedikit dan sekedar memberikan dukungan moral kepada petani perkotaan yang kehilangan lahannya.

Terjadinya konstruksi sosial, para petani sadar bahwa lahannya menjadi incaran developer, maka pada suatu ketika mereka tidak akan mampu mempertahankan kepemilikan atas lahannya. Kadang mereka yang kebetulan masih punya sepetak sawah, mempertahankan sawahnya dengan harga jual mahal. Selain mereka juga jengah melihat calo-calo developer. Mereka merasa bahwa dirinya masih mempertahankan naluri sebagai petani, mempertahankan ikatan emosi dengan leluhurnya.

Adapun tujuan bertani, tidak lain mendambakan kehidupan yang tenteram dan adem ayem. Kunci kata tersebut teletak pada prinsip hidup yang tidak berpikir terlalu menuntut berlebihan terhadap kemampuan daya hidup yang ada. Semua ditekuni dan dipecahkan sejauh kemampuan daya hidup yang dimiliki dan tidak mengejar nafsu semata. Bahkan dalam suasana kontemporer sekalipun, hidup sebagai petani adalah nikmat sekali.Meskipun sawah yang ada dari waktu ke waktu semakin menyempit, tetap tidak mempengaruhi keadaan pribadi mereka. Kehidupan petani akan ditekuni hingga suatu saat nanti tidak memungkinkan akibat sudah tidak dapat ditemukannya sawah di Kota Yogyakarta. Salah satunya adalah mencari lahan sawah di luar Kota Yogyakarta.

Kota cita rasanya tidak didapat karena untuk menikmati kemajuan jaman ternyata membutuhkan uang. Sementara dirinya sendiri (petani) tidak mempunyai cukup uang agar bisa ikut merasakan kejutan-kejutan kemajuan jaman. Sebuah kota adalah kesibukan dari siang hingga malam, sementara bagi dirinya (petani), bila malam sudah tiba, jika tidak ada kegiatan untuk mengairi sawah, maka istirahat menjadi hal paling nyaman.

Ada keambiguan dalam melihat kenyataan lingkungan sehari-hari. “ Kalau kota kenapa masih ada orang memanggul pacul. Kalau desa kenapa di sana-sini sudah muncul gedung-gedung yang menggantikan sawah-sawah”. Artinya ada hal-hal baru yang perlu dipelajari terlebih dahulu. Hal ini belum pernah diajarkan oleh orangtua dan leluhur mereka dalam hal bagaimana harus menghadapi dan menjawab tantangan perubahan di lingkungan tempat tinggal mereka yang sekarang sudah beralih menjadi kota secara perlahan-lahan maupun cepat.

Pekerjaan tani yang terfokus pada lahan, membawakan sifat pekerjaan yang merupakan pekerjaan komunal. Ada beberapa pekerjaan petani yang harus dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk sambatan (tolong-menolong), seperti ndaut (membersihkan sawah dari gulma seusai panen untuk ditanami kembali padi), ndangir (membersihkan padi yang sudah mulai remaja dari gulma rumput pengganggu) dan ani-ani (memotong padi menggunakan alat pemotong khusus yang bernama ani-ani) yang ternyata masih dipakai juga. Rasa kebersamaan masih sangat ditonjolkan dan ini merupakan corak petani di Jawa.

Sedangkan jenis-jenis pekerjaan di kota yang lebih mengandalkan pada bidang keahlian tinggi, tingkat pendidikan formal, karir, kesuksesan, profesionalitas tinggi, dan lebih mengandalkan pada kemampuan individual dalam menangani suatu bidang pekerjaan, menjadikan sifat ambisius sebuah pekerjaan di kota sangat menonjol. Tidak peduli bagaimana seseorang akan mencapainya. Ikatan-ikatan komunal bukan lagi menjadi dasar penilaian, tapi tingkat kemampuan individual dalam menangani suatu jenis pekerjaan.

Pada dasarnya, dengan meminjam kerangka pemikiran Anderson (imagined Communities 1990) tentang komunitas yang diangan-angankan, maka kota dan desa sekedar wujud angan-angan belaka. Ini sekedar berisi permainan membayang-bayangkan sebuah gambaran khayal dan maya di dalam benak. Karena dihidupi dan dimaknai, maka ia terkesan konkret, meski sebetulnya tidak ada yang sepenuhnya bisa disebut sebagai sebuah kota dan tidak ada yang sepenuhnya disebut sebagai desa.

(Muhlisinn 2006)

Rabu, 20 Agustus 2008

bingung...?!?..!!!

Seorang bapak dengan anaknya merencanakan pergi jauh dengan menggunakan kuda. Karena anaknya masih kecil, maka anaknya diletakkan di atas pelana kuda, dan kudanya dituntunnya. Ketika tiba di sebuah kampung, maka anak itu dimarahi penduduk di sana. “ Anak apa kamu, tidak menghormati orang tua” !. Untuk meghindari kemarahan itu, maka anaknya diturunkannya, dan bapak itu yang naik dan mengendalikan kudanya.

Di kampung berikutnya, bapak itu mendapat cercaan. “ Bapak apa kamu, tidak sayang kepada anak”. Bapak itu segera turun, dan mereka berdua berjalan menuntun kudanya, sampai ke kampung berikutnya. Ia dicemooh orang sekampung, “ Kamu bodoh amat, punya kuda tapi tak ditunggangi”. Bapak itu segera menunggangi kuda dan menarik anaknya ke atas kuda, dan mereka berdua menunggangi kuda itu. Karena kuda itu kecil, maka sampai di kampung berikutnya, ia dijumpai oleh penduduk di sana. “ Kamu itu bagaimana, kalian kan terlalu berat untuk kuda itu “. Kuda itu memang lalu terkilir kakinya, sehingga akhirnya bapak dan anak itu sepakat mengotong kudanya. Pada kampung berikutnya, mereka ditertawakan oleh penduduk sepanjang jalan.

(Punawan Junadi, 1994,Rineka Cipta).

Kutipan cerita diatas terutama saya dedikasikan buat mahasiswa yang lagi bingung ngerjain Tugas Akhir (TA) atau tugas-tugas lainnya. Khusus buat yang lagi TA, sepengetahuan saya (mungkin bisa beda) analogi saya kalau kita sedang mengerjakan TA sama saja kita menyelam di salah satu bagian terdalam dari bagian laut yang luas. Kita harus jadi paham benar bagian yang kita selami dari A sampai Z. Hal-hal yang prinsip dan mendasar tentu sudah harus tuntas diketahui sebelum menyelam. Kalau memang nggak tau coba bertanya sama orang yang sudah pernah menyelam dan diskusi. Kalau perlu bertanya dan berdiskusi dengan banyak orang supaya semakin banyak input wawasan dan pemahaman kita. Kalaupun TA kita dihadapi dengan pertanyaan, komentar dan saran yang sedikit nyeleneh dan diluar dugaan kita dari teman diskusi… ya terima saja, namun tetap di filter mana yang harus diterima mana yang tidak seperti kutipan cerita di atas (sebenarnya ceritanya masih panjang). Daripada kita dikomentari demikian pada saat sidang sarjana. Ok. Tetap semangat.

By Muhlisin

Selasa, 19 Agustus 2008

Pemanasan Global

Catatan nonton bareng film Inconvenienth truth (Al gore)
Paling tidak ada 3 hal (mungkin bisa lebih) yang bisa dijadikan kata kunci pertama Inspirasi, kedua action dan terakhir kontekstual.
Inspirasi
Kalau boleh dibilang pencerahan mungkin lebih tepat karena PWK-ITI yang sudah cerah (PD sedikit boleh ya..) tapi harus terus dicerahkan. Soal pemanasan global sudah dari dulu orang-orang ngomomgin. Dari buku , film, artikel dan konferensi internasional yang membahas ini. Film kartun The Simson juga udah pernah buat film plesetannya saya melihatnya sebagai hiburan dan ketawa-ketiwi aja. Tapi setelah lihat film ini tentu beda karena dikemas dengan data dan logika yang dapat diterima didukung pula presentasi yang baik (buat Algore jangan GR ya...). Tentu tidak sampai disitu kita harus “do something’ buat lingkungan… tanam pohon kek, reduce/reuse/recycle sampah kek, nggak buang sampah sembarangan, bikin kompos kek, atau yang lainnya yang penting tidak merusak lingkungan....tapi bukan juga improvisasi misalnya ingin mengurangi gas buangan kendaraaan CO2, lantas berangkat ke kantor di Serpong dengan berjalan kaki sementara rumahnya di Pasar Minggu....
Action
Apa yang disampaikan Algore berupa campaign tentang pemanasan memang global cukup tepat (sekali lagi jgn GR ya..) Cuplikan katak dalam rebusan air hangat yang lama-lama menjadi panas sebuah gambaran yang cukup mengena. Dari kecil hingga saat ini kita banyak merasakan yang berubah dan kita anggap sebagai suatu siklus yang berjalan terus dan kita biasa dan tenang-tenang saja menjalaninya. Padahal katak itu lama-lama juga mati karena airnya panas/mendidih.
Kontekstual
Diharapkan kita masing-masing harus punya agenda pribadi/individu setelah melihat film ini. Agendanya tentu sangat tergantung kondisi dan situasi masing-masing individu. Permasalahan (lingkungan) dan solusinya harus kontekstual dan terselesaikan tuntas. Sajian Algore tentu tidak tepat bila kita suguhkan kepada orang-orang kampung misalnya karena sajiannya terlalu science. Memang harus ada cara atau media lain atau mungkin film baru yang kita buat (bisa kali ya...) dimana dapat mudah dimengerti, dipahami dan diikuti sesuai dengan konteks kampung di Indonesia.
by Muhlisin





By Muhlisin