Kuliah sebagai salah satu bentuk Tanggung Jawab Moral
Sebagian besar manusia tidak mendisiplin dirinya untuk tetap belajar. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21 tahun, telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup (kawin), telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah, telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, telah beranak pinak, telah kaya raya, dan seterusnya. Hal-hal itu membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami keajaiban-keajaiban dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan merasa dewasa seperti itu maka proses pembodohan atau bahasa halusnya dehumanisasi dimulai. Jakob Sumardjo, budayawan asal Klaten mengatakan bahwa “ tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari”. Lalu bagaimana kalau tidak belajar selama sekian bulan, sekian tahun atau sekian puluh tahun ? yang terjadi bukan hanya kemunduran tetapi “pembusukan” dan “pembinatangan” diri menjadi tidak manusiawi. (andreas harefa;2000)
Tapi belajar pun jangan diartikan dalam arti sempit. Semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. Kalaupun ada yang mau sekolah S-2 atau S-3 itu hanya pilihan orang masing-masing. Kalau ada waktu dan biaya silakan saja. Tapi ngomong-ngomong ternyata kata sekolah itu asal usulnya dari kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Alkisah, orang Yunani kuno dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama : “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.
Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga masyarakat Yunani kuno. Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang nantinya diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang atau tempat di mana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Maka, sejak itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ ibu yang memberikan ilmu” (alma mater). Waktu terus berlalu, dan akhirnya sampai pada kata sekolah yang kita kenal hingga saat ini. (Roem Tomatimasang, 1998)
Jadi pada saat orang tua menyekolahkan anaknya pada institusi tertentu sesungguhnya telah terjadi pengalihan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada lembaga yang bernama sekolah. Dan kegiatan untuk konsisten belajar menjadi tanggung jawab si siswa yang dititipkan hingga lulus sekolah. Tapi ternyata hasilnya sebagian besar yang telah menyandang gelar akademis rupanya tidak lagi membaca buku-buku berisi ilmu pengetahuan yang relevan dengan titelnya. Sebuah studi menyatakan bahwa rata-rata seorang sarjana S-1 setidaknya pernah mampu membaca sekitar 40 buku untuk dapat menulis skripsinya (tentunya yang bukan jiplakan atau hasil transaksi pinggir jalan). Namun setelah “tamat” syukur-syukur masih baca koran dan majalah. Sulit ditemukan perpustakaan yang paling sederhana dan primitif sekalipun, di rumah-rumah para pemilik gelar yang sudah merasa pintar dan tamat belajar. Sebuah rumah yang memajang 100-200 buku saja sudah dianggap kutu buku.
Dan kini pertanyaannya apakah kita masih bisa bertanggung jawab pada kuliah kita ? Kalau tidak, buat apa cuma buang-buang waktu, duduk, mendengar dan mencatat atau sekedar mengisi waktu luang kumpul-kumpul bersama teman sebaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar