Selasa, 09 Februari 2016

pilah pilih sampah..

Tanpa rasa lelah tiap hari dia harus membungkus sampah dan membuangnya ke tempat yang disebut tempat sampah, ini adalah  kebiasaannya dan hampir di setiap pagi dia lakukan. Sampah yang dia bawa ini memang sudah dipilah. Ternyata sampah plastik sebelumnya sudah dipisahkan dan diberikan kepada tetangga sebelah rumahnya yang mempunyai kegiatan mengumpulkan sampah plastik yang dapat didaur ulang. Dia bilang memilah sampah tidak begitu menyulitkan cuma butuh sedikit rasa peka kepada lingkungan tapi rupanya dengan bangga dia bilang kebiasaan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai pemikiran out of the box saja menurutnya. Kenapa ? coba kita lihat dari sudut  pandang profesi tak semua orang mau mengambil dan mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kembali. `Padahal  Ini bukan pekerjaan hina dan juga bukan pekerjaan yang sifatnya mengambil hak orang lain, seharusnya mereka diberi penghargaan karena mengurangi volume sampah yang masuk bak sampah yang akhirnya mengurangi volume sampah di TPA. Namun pandangan sempit kebanyakan orang menganggap itu  adalah pekerjaan kotor yang memalukan dan hanya untuk orang bodoh yang kurang beruntung. Jadilah mereka berprofesi sebagai pemulung. Padahal disinilah letaknya bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk memilah sampah efeknya menimbulkan sebuah profesi pemulung dan selama kita belum mampu memilah sampah maka mereka akan tetap ada. Artinya selama itu juga masyarakat masih dalam berada dalam tempurung dan berpikir konvensional. Padahal memilah sampah itu hanya tindakan sederhana namun sebuah lompatan besar.

ilustrasi pertama: Sebuah keluarga yang disekitar rumahnya tidak ada tempat sampah dan jauh dari bak sampah akhirnya meminta jasa pemungut/pemulung sampah untuk mengambil sampah dari rumahnya yang disiapkan dalam satu tong sampah depan rumahnya. Tiap bulan si empunya rumah membayar Rp. 30.000,-  kepada pemungut sampah. Lalu apa yang terjadi, sekeluarga dalam rumah itu membuang benda apapun kedalam satu tong sampah karena dianggap persoalan sampah sudah diselesaikan dengan membayar tiap bulan. Apa betul begitu ? lalu tahukah mereka soal prinsip reduce, reuse dan recycle tentang sampah. Tahukah mereka bahwa kota tempat mereka tinggal juga bingung mengurusi sampah yang kian bertambah. Lalu bagaimana kita memberikan contoh kepada keluarga kita sendiri terutama menanamkan memilah sampah sejak dini kepada anak-anak ?


Ilustrasi kedua : Pemungut sampah dari rumah tersebut diatas ternyata memilah sampah dari tong yang dia ambil setiap dua hari sekali. Hasilnya banyak benda-benda yang dia kumpulkan untuk dijual kembali seperti koran, majalah dan buku bekas, kaleng, botol dan bahan-bahan plastik yang dapat didaur ulang dsb. Disini pemungut sampah “menang banyak”, tiap bulan dapat bayaran dan dapat tambahan pemasukan dari pemilahan sampah. Hitungan ini baru satu rumah saja. Coba bayangkan, malah ada pemulung yang berani membayar untuk tiap truk sampah yang mengumpulkan sampah dari komplek perumahan besar. Disinilah persoalan lain muncul. Kesempatan dalam kesempitan yaitu komersialisasi sampah. Seakan truk sampah kota hanya berorientasi melayani dan mengangkut sampah di lingkungan perumahan besar, pasar dan jalan utama saja. Lalu yang tidak terlayani dimangsa oleh pemungut sampah yang “menang banyak” tadi atau mereka tidak ingin mengeluarkan biaya akhirnya membuang sampah di pinggir jalan. Disini sampah tidak pernah selesai.

Dalam ilustrasi pertama seharusnya pemungut sampah tidak perlu mendapat bayaran perbulan tetapi mereka mendapat bayaran berupa sampah yang dapat didaur ulang dan bernilai jual sebagai imbalan mengumpulkan sampah dari tiap siempunya  tong sampah rumahan. Begitu juga tempat belanja atau mall besar menyediakan unit khusus penukaran sampah-sampah plastik yang dapat ditukar dengan kantong belanja ramah lingkungan atau sejenisnya. Intinya persoalan sampah tidak selesai dengan membayar  karena persoalan sampah adalah persoalan bersama dan harus diselesaikan mulai dari diri sendiri.


By Muhlisin.