Selasa, 07 Oktober 2008

Air-2

Kalau ada pernyataan seperti ini :

Luas hutan Jawa yang hanya 22 persen dari luas daratan jelas tidak akan mampu menopang kebutuhan siklus aliran air dan konservasi hidrologi secara sempurna bagi penduduk Jawa yang mencapai sekitar 150 juta jiwa ini. Yang harus dilakukan kini adalah menyusun suatu peta posisi lahan dikaitkan dengan kebutuhan perlindungan ekosistem lingkungan yang memuat kelas lereng, jenis penutupan dan perlakuan lahan, kondisi klimat serta nilai konservasi hidrologisnya terhadap lingkungan. Fokus pengelolaan daerah aliran sungai DAS terpadu hendaknya diprioritaskan pada daerah yang memiliki nilai konservasi berdampak penting dan luas ” ¹).Artikel di kompas.

Artikel di atas lebih mengandalkan alam sebagai suatu siklus hidrologi yang harus menanggung sendiri keseimbangannya. Lalu di mana peran mahluk lainnya terutama manusia yang selalu butuh air yang katanya sumber kehidupan ? Bagaimana cara menyeimbangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah kita melihat atau mendengar ramalan cuaca ? mungkin cuma penting untuk jadwal penerbangan di bandara, atau barangkali kita gak peduli sama sekali dengan yang satu ini. Kalau disebut cuaca hari ini untuk kota X cerah, berawan atau hujan apa sih maknanya ? terus mau ngapain lagi, kalau mau hujan ya hujan aja, kalau mau panas ya silakan atau berawan no problem. Time goes on…..

Tapi ternyata, daerah kita (seluruh Indonesia kayanya) kalau hujan kebanjiran dan kalau musim panas kekeringan. Cerita kekurangan air dan banjir saat ini sudah tidak pantas lagi diangkat (cerita lama yang sudah basi dan berkarat). Dan kalau dari tahun ke tahun ceritanya itu saja ngapaian lagi diekspose.

Hal sebaliknya yang mestinya diangkat. Sedia payung sebelum hujan itu benar dan lebih benar sediakan juga gentong, ember, bak atau apa saja yang dapat menampung hujan itu. Repot amat...!?! ya memang repot dan memang tidak pernah di acara ramalan cuaca menyebut atau menyuruh warga yang diramalkan di daerahnya akan turun hujan disuruh menyiapkan wadah untuk menampung air hujan. Lucu !..gak juga...tapi seharusnya memang demikian kalau informasi cuaca menjadi suatu yang berharga. Konsekuensi lainnya dari pentingnya menampung air hujan ini design rumah-rumah baru oleh developer tidak hanya ada ruangan terbuka saja tapi benar-benar ada ruang untuk bak penampungan air hujan secara khusus yang didesign sedemikian rupa menjadi suplai bagi sumber air bersih di rumah.

M U H L I S I N – Lapak - PWK, Institut Teknologi Indonesia.

AIR -1

Air mempunyai nilai pada saat ada perlakuan terhadapnya. Perlakuan secara fisik secara langsung dapat kita temukan misalnya pada produk hasil olahan dimana air sebagai bahan utama produk, seperti air mineral, minuman suplemen dsb kemudian dijual dan kita perlu mengeluarkan beberapa rupiah lebih tinggi dari harga air biasanya untuk volume air yang sama. (Di wilayah Matraman – Jakarta Timur, dua jerigen atau 40 liter air bersih harganya sekitar Rp.1500,-). Dalam skala rumah tangga secara sederhana hal ini dapat kita temukan dalam kegiatan memasak air. Air mentah yang belum dimasak tidak terlalu berharga karena belum ada perlakuan terhadapnya, paling hanya untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Tapi kalau sebaliknya apakah ada orang yang mau mempergunakan air telah dimasak untuk kegiatan MCK ini ? Karena telah ada energi yang diserapnya dari hasil kerja kompor yang untuk menyalakannya perlu beberapa rupiah sebagai bahan bakar berupa gas atau minyak tanah. Atau barangkali akan terjadi dimana suatu saat kita akan membeli air secara eceran yang dijual dalam kemasan untuk keperluan mandi, cuci dan memasak (seperti isi kampanye selamatkan air dari sebuah LSM lingkungan).

Untuk air yang berasal dari PAM juga mengalami hal yang sama, untuk memproduksi air bersih yang bersumber dari air permukaan, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Sebab, proses pengolahannya menggunakan tenaga listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Tarif listrik dan BBM yang dibebankan kepada PLN bukan harga bersubsidi, tetapi harga untuk kategori industri. Di samping itu dibutuhkan bahan kimia yang penjualannya menggunakan mata uang dolar AS. ¹)

Untuk perlakuan fisik secara tidak langsung terhadap air yang dapat dijadikan contoh misalnya pelestarian hutan atau daerah tangkapan air untuk keberlangsungan pasokan air, ini adalah logika sederhana yang positif.

Kemudian perlakuan terhadap air secara negatif misalnya semakin banyaknya daerah tangkapan air yang kini sudah disemen, dibuat bangunan, berkurangnya daerah terbuka dsb menyebabkan volume air yang mengalir di permukaan tanah (run-off) besar. Akibatnya ketersediaan air tanah berkurang karena air tak terserap dan yang terjadi pada daerah lain adalah banjir. Lalu berapa besar kerugian yang ditanggung oleh warga yang kebanjiran ? kalau 2 – 3 hari rumahnya terendam air setinggi 0,5 – 1 meter. Pernyataan kedua ini bukan suatu logika sederhana yang mudah dipahami. Bagaimana tidak, kalau telah kita diketahui betapa sulitnya membatasi pembangunan rumah di daerah hulu. Pembatasan dan aturan hanya berdinding kertas, pembuat aturan dan penerima aturan sama-sama ingin melanggarnya guna kepentingannya masing-masing. Ilustrasi seperti apa yang cocok bagi mereka apakah cukup dengan prinsip ”think globally act locally” ? So what gitu lo….

Fungsi sosial air yang terganggu (No money no water).

Air merupakan barang ekstra esensial bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini (mudah-mudahan tidak). Di sisi lain kita juga sering bersikap take it for granted terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya water-diamond paradox, dimana air yang begitu esensial dihargai sangat murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dihargai begitu mahal. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial jadi sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat. Melihat kekhawatiran seperti inilah maka sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai barang public murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan main. ²) Tapi apakah peraturan itu berpihak kepada masyarakat luas ? dan bukan kepada pihak swasta yang hanya mencari untung sendiri. Di Indonesia masih banyak penduduk yang memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari langsung dari sumber air (air sungai, danau, mata air waduk, dll) Jika kemudian sumbernya dikuasai oleh pihak badan usaha swasta, jelas akan banyak penduduk yang akan kehilangan akses mereka terhadap air. Mereka tidak bisa lagi mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari karena swasta tentunya akan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengamankan aset mereka, yang itu juga berarti limitasi akses bagi pengguna lainnya.³).

M U H L I S I N – Lapak - PWK, Institut Teknologi Indonesia.

Sumber :

¹) PDAM masih terpuruk, Kompas 23 April 2004

²) Implementasi UU SDA, Kompas 15 Maret 2004

³) Privatisasi Air Minum, Kompas 4 Maret 2005

Kuliah sebagai salah satu bentuk Tanggung Jawab Moral

Kuliah sebagai salah satu bentuk Tanggung Jawab Moral

Sebagian besar manusia tidak mendisiplin dirinya untuk tetap belajar. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21 tahun, telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup (kawin), telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah, telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, telah beranak pinak, telah kaya raya, dan seterusnya. Hal-hal itu membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami keajaiban-keajaiban dalam kehidupannya sehari-hari.

Dengan merasa dewasa seperti itu maka proses pembodohan atau bahasa halusnya dehumanisasi dimulai. Jakob Sumardjo, budayawan asal Klaten mengatakan bahwa “ tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari”. Lalu bagaimana kalau tidak belajar selama sekian bulan, sekian tahun atau sekian puluh tahun ? yang terjadi bukan hanya kemunduran tetapi “pembusukan” dan “pembinatangan” diri menjadi tidak manusiawi. (andreas harefa;2000)

Tapi belajar pun jangan diartikan dalam arti sempit. Semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. Kalaupun ada yang mau sekolah S-2 atau S-3 itu hanya pilihan orang masing-masing. Kalau ada waktu dan biaya silakan saja. Tapi ngomong-ngomong ternyata kata sekolah itu asal usulnya dari kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Alkisah, orang Yunani kuno dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama : “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.

Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga masyarakat Yunani kuno. Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang nantinya diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang atau tempat di mana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Maka, sejak itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ ibu yang memberikan ilmu(alma mater). Waktu terus berlalu, dan akhirnya sampai pada kata sekolah yang kita kenal hingga saat ini. (Roem Tomatimasang, 1998)

Jadi pada saat orang tua menyekolahkan anaknya pada institusi tertentu sesungguhnya telah terjadi pengalihan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada lembaga yang bernama sekolah. Dan kegiatan untuk konsisten belajar menjadi tanggung jawab si siswa yang dititipkan hingga lulus sekolah. Tapi ternyata hasilnya sebagian besar yang telah menyandang gelar akademis rupanya tidak lagi membaca buku-buku berisi ilmu pengetahuan yang relevan dengan titelnya. Sebuah studi menyatakan bahwa rata-rata seorang sarjana S-1 setidaknya pernah mampu membaca sekitar 40 buku untuk dapat menulis skripsinya (tentunya yang bukan jiplakan atau hasil transaksi pinggir jalan). Namun setelah “tamat” syukur-syukur masih baca koran dan majalah. Sulit ditemukan perpustakaan yang paling sederhana dan primitif sekalipun, di rumah-rumah para pemilik gelar yang sudah merasa pintar dan tamat belajar. Sebuah rumah yang memajang 100-200 buku saja sudah dianggap kutu buku.

Dan kini pertanyaannya apakah kita masih bisa bertanggung jawab pada kuliah kita ? Kalau tidak, buat apa cuma buang-buang waktu, duduk, mendengar dan mencatat atau sekedar mengisi waktu luang kumpul-kumpul bersama teman sebaya.

By Muhlisin