AIR -1
Air mempunyai nilai pada saat ada perlakuan terhadapnya. Perlakuan secara fisik secara langsung dapat kita temukan misalnya pada produk hasil olahan dimana air sebagai bahan utama produk, seperti air mineral, minuman suplemen dsb kemudian dijual dan kita perlu mengeluarkan beberapa rupiah lebih tinggi dari harga air biasanya untuk volume air yang sama. (Di wilayah Matraman – Jakarta Timur, dua jerigen atau 40 liter air bersih harganya sekitar Rp.1500,-). Dalam skala rumah tangga secara sederhana hal ini dapat kita temukan dalam kegiatan memasak air. Air mentah yang belum dimasak tidak terlalu berharga karena belum ada perlakuan terhadapnya, paling hanya untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Tapi kalau sebaliknya apakah ada orang yang mau mempergunakan air telah dimasak untuk kegiatan MCK ini ? Karena telah ada energi yang diserapnya dari hasil kerja kompor yang untuk menyalakannya perlu beberapa rupiah sebagai bahan bakar berupa gas atau minyak tanah. Atau barangkali akan terjadi dimana suatu saat kita akan membeli air secara eceran yang dijual dalam kemasan untuk keperluan mandi, cuci dan memasak (seperti isi kampanye selamatkan air dari sebuah LSM lingkungan).
Untuk air yang berasal dari PAM juga mengalami hal yang sama, untuk memproduksi air bersih yang bersumber dari air permukaan, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Sebab, proses pengolahannya menggunakan tenaga listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Tarif listrik dan BBM yang dibebankan kepada PLN bukan harga bersubsidi, tetapi harga untuk kategori industri. Di samping itu dibutuhkan bahan kimia yang penjualannya menggunakan mata uang dolar AS. ¹)
Untuk perlakuan fisik secara tidak langsung terhadap air yang dapat dijadikan contoh misalnya pelestarian hutan atau daerah tangkapan air untuk keberlangsungan pasokan air, ini adalah logika sederhana yang positif.
Kemudian perlakuan terhadap air secara negatif misalnya semakin banyaknya daerah tangkapan air yang kini sudah disemen, dibuat bangunan, berkurangnya daerah terbuka dsb menyebabkan volume air yang mengalir di permukaan tanah (run-off) besar. Akibatnya ketersediaan air tanah berkurang karena air tak terserap dan yang terjadi pada daerah lain adalah banjir. Lalu berapa besar kerugian yang ditanggung oleh warga yang kebanjiran ? kalau 2 – 3 hari rumahnya terendam air setinggi 0,5 – 1 meter. Pernyataan kedua ini bukan suatu logika sederhana yang mudah dipahami. Bagaimana tidak, kalau telah kita diketahui betapa sulitnya membatasi pembangunan rumah di daerah hulu. Pembatasan dan aturan hanya berdinding kertas, pembuat aturan dan penerima aturan sama-sama ingin melanggarnya guna kepentingannya masing-masing. Ilustrasi seperti apa yang cocok bagi mereka apakah cukup dengan prinsip ”think globally act locally” ? So what gitu lo….
Fungsi sosial air yang terganggu (No money no water).
Air merupakan barang ekstra esensial bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini (mudah-mudahan tidak). Di sisi lain kita juga sering bersikap take it for granted terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya water-diamond paradox, dimana air yang begitu esensial dihargai sangat murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dihargai begitu mahal. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial jadi sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat. Melihat kekhawatiran seperti inilah maka sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai barang public murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan main. ²) Tapi apakah peraturan itu berpihak kepada masyarakat luas ? dan bukan kepada pihak swasta yang hanya mencari untung sendiri. Di Indonesia masih banyak penduduk yang memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari langsung dari sumber air (air sungai, danau, mata air waduk, dll) Jika kemudian sumbernya dikuasai oleh pihak badan usaha swasta, jelas akan banyak penduduk yang akan kehilangan akses mereka terhadap air. Mereka tidak bisa lagi mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari karena swasta tentunya akan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengamankan aset mereka, yang itu juga berarti limitasi akses bagi pengguna lainnya.³).
M U H L I S I N – Lapak - PWK, Institut Teknologi Indonesia.
Sumber :
¹) PDAM masih terpuruk, Kompas 23 April 2004
²) Implementasi UU SDA, Kompas 15 Maret 2004
³) Privatisasi Air Minum, Kompas 4 Maret 2005