Jumat, 28 Oktober 2016

emangnya wifi emak luh....


Belum lama menikah tetapi sudah berpikir untuk berpisah. Kondisi itu terungkap dalam survei 2016 Prudential Relationship Indeks di Singapura. Angka perceraian di Singapura memang tinggi, faktanya 28% responden mengalami masalah ini, mereka bertengkar terus menerus karena pasangannya lebih memilih menghabiskan waktu dengan memandangi layar gadget.*(dikutip dari harian ibukota). Kalau sudah begini mudah-mudahan orang Indonesia nggak ikut-ikutan jadi korban teknologi alias kortek kalau yang gaptek mungkin banyak. Setianya gadget menemani hari-hari kita sepertinya memang tidak bisa dipungkiri oleh karena itu bagaimana menyiasatinya perlu beberapa sikap yang bijak. Ada cerita seseorang yang menyadari HP-nya ketinggalan di rumah saat tiba di bandara padahal pagi itu harus terbang dengan jadwal penerbangan pesawat pertama tetapi ternyata lebih rela pulang ke rumah dan harus ketinggalan pesawat daripada ketinggalan HP (padahal kalau HP-nya gak diambil paling resikonya HP-nya sudah hancur dibanting he..he...) ada lagi cerita seseorang yang punya HP 3 buah plus power bank tetapi masih nyari free wifi padahal disuatu area kadang nama username sudah berubah misalnya menjadi “masih cari yang gratisan ? ” atau “ miskin luh ” atau ada lagi yang ganti nama menjadi “emangnya wifi emak luh” he hee...dari cerita ini tersirat begitu tingginya kebutuhan untuk selalu online kapanpun dimanapun. Singkat cerita suatu kali saya ikut seminar dan diskusi salah satu panelis waktu itu sesaat sebelum presentasi dimulai memberi kami waktu 5 menit untuk online sebelum dia memberikan materinya. Hal ini dia lakukan dengan alasan karena dia tidak ingin terganggu dan ingin apa yang dia sampaikan dapat diterima dengan baik. Langsung saja akhirnya dalam ruangan itu peserta terlihat ada yang selfie, update status, browsing, menelepon dsb. Waktu 5 menit berakhir semua gadget disetting moda silent dan tidak ditaruh di atas meja. Singkat cerita diakhir presentasi nara sumber mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kepatuhan peserta seminar sambil juga menyisipkan cerita tentang bagaimana barang kesayangan anda (gadget) adalah barang yang bisa jadi paling pertama yang mengkhianati kita pada saat bersentuhan dengan persoalan hukum.  Terima kasih semoga semakin bijak.

Selasa, 18 Oktober 2016

Usulan perencanaan berbasis koordinat

Pernah dengar cerita ada usulan perencanaan dari suatu kegiatan pembangunan drainase yang judulnya sama berada dalam satu lokasi yang sama ketika dilakukan verifikasi ulang ternyata untuk satu judul saja volumenya masih kurang...lalu dimanakah lokasi dua kegiatan proyek lainnya akan dikerjakan ?  Jika kita melihat kembali usulan pembangunan contohnya dalam hal ini usulan pembangunan saluran air, untuk mengantisipasi hal seperti diatas terjadi biasanya untuk lokasi diberi alamat dalam lingkup yang lebih luas jadi tidak memakai lingkup ke-RT-an tetapi lingkup RW....judul usulan pembangunannya menjadi seperti ini “ Pembangunan Saluran Air RW 01 di kelurahan A” . Memang benar harus demikian karena aliran air harus dilihat hulu dan hilirnya selain itu untuk mengantisipasi kurangnya volume saat verifikasi ulang kegiatan agar tidak terkunci oleh batasan wilayah, ingat salah satu curhatnya Dinas Pengairan/SDA adalah kadang menerima keluhan dari masyarakat karena wilayahnya menjadi banjir akibat adanya pembangunan saluran air (hilir) dan mendapat pujian dari masyarakat karena wilayahnya sudah tidak banjir (hulu)....dari gambaran diatas tersirat ada tiga persoalannya, pertama penumpukan kegiatan dalam satu lokasi, kedua bagaimana penentuan hulu dan hilir, ketiga kesinambungan proyek.... lalu bagaimana penyelesaiannya ? pertama masyarakat harus mulai terbiasa usulan pembangunan melalui titik koordinat ...jadi usulan pembangunan harus BY COORNA yaitu by koordinat by name by address (jangan kalah sama ojek online....), Dinas terkait juga harus sudah mempunyai peta data base tentang proyek yang sudah maupun akan dikerjakan  bentuknya berupa garis atau notasi dimana saja saluran drainase sudah dibangun, dimensi, tahun kapan dibangun, kondisi saat ini bagaimana dsb. Jadi Peta data base jaringan drainase nantinya akan di-super impose dengan layer daerah genangan dari sinilah penentuan usulan pembangunan drainase dapat diprioritaskan (tidak ada penumpukan judul, kelebihan/kekurangan volume), hulu dan hilirnya dapat ditampilkan dipeta (tidak terputus-putus jaringannya) dan kesinambungan proyek dapat dilanjutkan (masyarakat di hilir tidak mengeluh)....dan yang lebih penting bagaimana mengintegrasikan rencana jaringan drainase lokal dengan masterplan drainase kota.....konsekuensinya memang harus ada pelatihan penggunaan GPS ditingkat masyarakat (pakai GPS di HP juga bisa) atau minimal aparat kelurahan untuk mendapatkan usulan pembangunan mengerti sistem By Coorna ini dan dilengkapi perangkat komputer di tingkat kelurahan yang berisi software pemetaan (banyak pilihan softwarenya) untuk input data usulan.....Jadi kalau ada rapat Musrenbang tingkat kelurahan  aparat kelurahan dapat menampilkan peta usulan masyarakat dan menjelaskan kenapa alasannya usulan tersebut diprioritaskan secara grafis melalui peta, notasi dan visualisasi masterplan drainase kota keseluruhan.