Belum lama menikah
tetapi sudah berpikir untuk berpisah. Kondisi itu terungkap dalam survei 2016
Prudential Relationship Indeks di Singapura. Angka perceraian di Singapura
memang tinggi, faktanya 28% responden mengalami masalah ini, mereka bertengkar
terus menerus karena pasangannya lebih memilih menghabiskan waktu dengan
memandangi layar gadget.*(dikutip dari harian ibukota). Kalau sudah begini
mudah-mudahan orang Indonesia nggak ikut-ikutan jadi korban teknologi alias
kortek kalau yang gaptek mungkin banyak. Setianya gadget menemani hari-hari
kita sepertinya memang tidak bisa dipungkiri oleh karena itu bagaimana
menyiasatinya perlu beberapa sikap yang bijak. Ada cerita seseorang yang
menyadari HP-nya ketinggalan di rumah saat tiba di bandara padahal pagi itu harus
terbang dengan jadwal penerbangan pesawat pertama tetapi ternyata lebih rela
pulang ke rumah dan harus ketinggalan pesawat daripada ketinggalan HP (padahal
kalau HP-nya gak diambil paling resikonya HP-nya sudah hancur dibanting
he..he...) ada lagi cerita seseorang yang punya HP 3 buah plus power bank tetapi masih nyari free wifi padahal disuatu area kadang
nama username sudah berubah misalnya
menjadi “masih cari yang gratisan ? ”
atau “ miskin luh ” atau ada lagi
yang ganti nama menjadi “emangnya wifi emak
luh” he hee...dari cerita ini tersirat begitu tingginya kebutuhan untuk selalu
online kapanpun dimanapun. Singkat cerita suatu kali saya ikut seminar dan
diskusi salah satu panelis waktu itu sesaat sebelum presentasi dimulai memberi
kami waktu 5 menit untuk online sebelum dia memberikan materinya. Hal ini dia
lakukan dengan alasan karena dia tidak ingin terganggu dan ingin apa yang dia
sampaikan dapat diterima dengan baik. Langsung saja akhirnya dalam ruangan itu
peserta terlihat ada yang selfie, update status, browsing, menelepon dsb. Waktu
5 menit berakhir semua gadget disetting moda silent dan tidak ditaruh di atas meja. Singkat cerita diakhir
presentasi nara sumber mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kepatuhan
peserta seminar sambil juga menyisipkan cerita tentang bagaimana barang
kesayangan anda (gadget) adalah barang yang bisa jadi paling pertama yang
mengkhianati kita pada saat bersentuhan dengan persoalan hukum. Terima kasih semoga semakin bijak.
Jumat, 28 Oktober 2016
Selasa, 18 Oktober 2016
Usulan perencanaan berbasis koordinat
Pernah dengar cerita ada usulan perencanaan dari suatu kegiatan
pembangunan drainase yang judulnya sama berada dalam satu lokasi yang sama
ketika dilakukan verifikasi ulang ternyata untuk satu judul saja volumenya
masih kurang...lalu dimanakah lokasi dua kegiatan proyek lainnya akan dikerjakan
? Jika kita melihat kembali usulan
pembangunan contohnya dalam hal ini usulan pembangunan saluran air, untuk
mengantisipasi hal seperti diatas terjadi biasanya untuk lokasi diberi alamat
dalam lingkup yang lebih luas jadi tidak memakai lingkup ke-RT-an tetapi
lingkup RW....judul usulan pembangunannya menjadi seperti ini “ Pembangunan Saluran Air RW 01 di kelurahan
A” . Memang benar harus demikian
karena aliran air harus dilihat hulu dan hilirnya selain itu untuk
mengantisipasi kurangnya volume saat verifikasi ulang kegiatan agar tidak
terkunci oleh batasan wilayah, ingat salah satu curhatnya Dinas Pengairan/SDA
adalah kadang menerima keluhan dari masyarakat karena wilayahnya menjadi banjir
akibat adanya pembangunan saluran air (hilir) dan mendapat pujian dari
masyarakat karena wilayahnya sudah tidak banjir (hulu)....dari gambaran diatas
tersirat ada tiga persoalannya, pertama
penumpukan kegiatan dalam satu lokasi, kedua
bagaimana penentuan hulu dan hilir, ketiga
kesinambungan proyek.... lalu bagaimana penyelesaiannya ? pertama masyarakat
harus mulai terbiasa usulan pembangunan melalui titik koordinat ...jadi usulan
pembangunan harus BY COORNA yaitu by koordinat
by name by address (jangan kalah
sama ojek online....), Dinas terkait juga harus sudah mempunyai peta data
base tentang proyek yang sudah maupun akan dikerjakan bentuknya berupa garis atau notasi dimana
saja saluran drainase sudah dibangun, dimensi, tahun kapan dibangun, kondisi
saat ini bagaimana dsb. Jadi Peta data base jaringan drainase nantinya akan di-super impose dengan layer daerah
genangan dari sinilah penentuan usulan pembangunan drainase dapat
diprioritaskan (tidak ada penumpukan judul, kelebihan/kekurangan volume), hulu
dan hilirnya dapat ditampilkan dipeta (tidak terputus-putus jaringannya) dan
kesinambungan proyek dapat dilanjutkan (masyarakat di hilir tidak mengeluh)....dan
yang lebih penting bagaimana mengintegrasikan rencana jaringan drainase lokal
dengan masterplan drainase kota.....konsekuensinya memang harus ada pelatihan
penggunaan GPS ditingkat masyarakat (pakai
GPS di HP juga bisa) atau minimal aparat kelurahan untuk mendapatkan usulan
pembangunan mengerti sistem By Coorna ini dan dilengkapi perangkat komputer di
tingkat kelurahan yang berisi software pemetaan (banyak pilihan softwarenya)
untuk input data usulan.....Jadi kalau ada rapat Musrenbang tingkat
kelurahan aparat kelurahan dapat
menampilkan peta usulan masyarakat dan menjelaskan kenapa alasannya usulan
tersebut diprioritaskan secara grafis melalui peta, notasi dan visualisasi masterplan
drainase kota keseluruhan.
Langganan:
Postingan (Atom)