Rumah, Taman,
jalan dan saluran serta fasos dan fasum adalah sesuatu yang harus diperhatikan
pada saat melihat sebuah siteplan perumahan. Tak peduli kita tengah berada
dalam posisi sebagai calon pembeli atau memang sebagai kelompok masyarakat yang
peduli akan perumahan karena sudah sifatnya kenyataan di lapangan pengembang
besar dan pengembang kecil sama nakalnya. Banyak celah yang masih dimanfaatkan
pengembang guna mengeruk keuntungan yang lebih besar. Dari sudut kepemilikan
dan luasan hak pembeli memang tidak ada yang dirugikan namun secara teknis
lingkungan hunian sebenarnya banyak yang dirugikan karena merumahkan manusia
bukan hanya bangunan fisik saja tapi ruang terbuka, ruang bersama dan fasilitas
adalah sesuatu yang juga penting dalam membentuk karakter keluarga yang hidup
dan berkehidupan didalamnya.
Jika kita
melihat bahwa kriteria rumah yang layak dan sehat untuk dijadikan tempat
tinggal adalah apabila rumah tersebut memiliki dinding terluas yang terbuat
dari tembok atau kayu, atap terluas berupa beton atau genteng serta luas lantai
terluas bukan berupa tanah. Selain itu menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
salah satu kriteria rumah sehat adalah rumah yang memiliki luas lantai per
orang minimal 10 m². Sedangkan menurut pedoman rumah sederhana sehat, kebutuhan
ruang per orang dihitung berdasarkan aktifitas dasar manusia di dalam rumah
yang meliputi, tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci, masak dan ruang
gerak lainnya. Sementera menurut Kementerian Kesehatan, salah satu persyaratan
rumah sehat adalah jika penguasaan luas lantai perkapitanya minimal 8 m². Dan
jika melihat hasil kajian, maka kebutuhan ruang per orang adalah 9 m² dengan
perhitungan rata-rata ketinggian langit-langit adalah 2,80 m. (*indikator kesejahteraan rakyat, BPS 2011)
Pengembang dengan
tenaga arsitekturnya tentu punya pemahaman yang lebih dalam mengenai
persyaratan teknis bangunan dan dimensinya seperti uraian diatas. Namun perhitungan
komposisi dan material menjadi pertimbangan utama komponen biaya. Angka
akhirnya tentu mempengaruhi berapa besar keuntungan yang akan diperoleh. Belum
lagi masih ada perhitungan komponen biaya cadangan yang memang disiapkan oleh
pengembang jika sewaktu-waktu tidak menjadi biaya real yang harus dikeluarkan
tentu bertambah lagi keuntungannya. Pertanyaannya adalah apakah seorang
pengembang atau kelompok pengembang mengerti persyaratan teknis suatu bangunan
atau lingkungan hunian atau pura-pura tidak tahu dan menyerahkan
tanggungjawabnya kepada kontraktor/pemborong ? Lalu apakah juga kenyataan dilapangan
komposisi lahan terbangun dan tidak terbangun 60-40 juga terlaksana ?
jawabannya, pertama akan terlaksana jika tidak mempengaruhi rupiah keuntungan
dan jawaban kedua akan tetap terlaksana
tapi dengan mengorbankan kepentingan penghuni. Bisa jadi letak taman dan
fasos/fasum berada di posisi yang memanjang di pojok perumahan yang gelap dan
sepi berbatasan dengan TPU dan walhasil tidak pernah ada penghuni yang mau
singgah. Padahal dalam Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan
Prasarana, Sarana, dan Utilitas perumahan dan Permukiman di daerah Pasal 3
huruf C menginginkan terciptanya kepastian hukum ketersediaan prasarana, sarana,
dan utilitas di lingkungan perumahan dan permukiman sesuai dengan standar,
rencana tapak yang disetujui oleh pemerintah daerah, serta kondisi dan
kebutuhan masyarakat.
Lalu jika sebuah kota ingin menata sistem sarana dan
prasarana dasar perkotaan yang ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan
melalui penyediaan infrastruktur dasar dan fasilitas umum dan sosial, tapi kenyataannya dilapangan beberapa pengembang perumahan
ternyata siteplannya tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan di lapangan
(eksisting), tanah belum dibebaskan/tanah diserobot warga, lahan fasos/taman di
serobot/dijual ke penghuni, tidak ada
plang nama perumahan, ada pertukaran lokasi kavling dalam satu cluster, lahan
fasos/fasum berada di atas saluran air dan nama perumahan yang tidak sesuai
dengan lokasi/wilayah domisili. Dari mana mulai menatanya ?
By muhlisin