Best Practice Penanganan sampah
Jika melihat persoalan di lapangan salah satu persoalan yg dihadapi oleh Tangsel adalah masalah sampah, sepertinya ini jadi salah satu fokus masalah yang harus diselesaikan.Bagaimana bapak melihat persoalan sampah di Tangsel ini ?
BEST konsen di penanganan sampah rumah tangga, sampah banyak menumpuk di pasar-pasar seperti Ciputat dsb sementara coverage pelayanan penanganan sampah oleh pemerintah biasanya baru hanya mencapai 20% dari total sampah yang ada. Jika penduduk Tangsel misalnya 1,3 juta jiwa dengan volume sampah yang dihasilkan perorang diasumsikan average 2 lt/hr, maka akan menghasilkan ± 2.600 m³/hr sampah demikian beliau menghitung secara gobal. Sekarang di Tangsel TPA sulit dan mau direncanakan di Cipeucang namun masih belum berjalan efektif, dengan sudah definifnya walikota Tangsel tentu sudah tidak bisa lagi membuang sampah di tempat lain misalnya di Jatiwaringin (Kabupaten Tangerang). Semua TPA di Indonesia masih Open Dumping, padahal target MDG’S kita UU No. 18/2008 diketahui bahwa 5 tahun setelah itu tidak akan ada Open Dumping dan coverage pelayanan sampah hingga mencapai 80%, padahal di Indonesia jangankan Open dumping TPA-nya saja sulit.
Lalu BEST harus mulai dari mana ? Muncul pertanyaan, sebenarnya siapakah yang menghasilkan sampah ? tentunya masyarakat, namun masyarakat itu sendiri juga persepsinya tentang sampah pertama masih menganggap sampah adalah sampah yang tidak berguna dan tidak berharga, tentunya masyarakat juga enggan berinvestasi di penanganan sampah namun jika untuk membeli emas, rumah dll mungkin mereka mau tapi untuk membayar sampah mereka tidak mau yang kedua masyarakat masih menganggap sampah adalah tanggungjawab pemerintah daerah/kota, padahal pemerintah sendiri tidak sanggup mengelola dan menangani sampah tanpa bantuan masyarakat. Jika coverage penanganan sampah oleh pemerintah kini hanya sekitar 20% lalu berdasarkan target MDGS harus naik hingga 70% tentunya mereka harus mencari cara how to achieve naik sesuai yang ditargetkan. Korelasinya biasanya anggaran untuk penanganan sampah dinaikkan 10 % misalnya, tapi ada laju inflasi 10%, pertambahan penduduk naik 3% , pertumbuhan ekonomi juga naik 3 % artinya secara real tidak berarti apa-apa kenaikan anggaran tersebut.
Harus disadari bahwa penghasil sampah harus membayar, volunter must be pay...konsep 3 R (Reduce, Resuse, Recycle) reduce misalnya jika makan harus dihabiskan, kalau beli obat ambil obatnya jangan ambil plastiknya. Kalau bisa di rumah tangga sampah dipilah, mana sampah basah (kita buat kompos) dan mana sampah yang kering, yang masih laku kita jual dan yang residu saja yang kita buang ke tempat sampah. Jadi konsepnya sampah kita tahan dari individu kemudian skala rumah tangga, lalu skala kawasan dan jika tidak mampu juga baru TPA. Namun paradigma yang ada sekarang adalah tidak ada pengurangan (reduce) tapi langsung ke TPA, padahal kita tahu di hilir TPA tidak ada di Tangsel, mungkin salah satunya siapa yang mau wilayahnya ketempatan TPA.
Oleh karena itu BEST sendiri juga kampanye terus menerus dengan SDM yang sedikit akhirnya hanya bisa main di tingkat kawasan, namun sekali touch 1.500 KK atau lebih. Saya membagi perilaku membuang sampah masyarakat dibagi dalam empat kelas : kelas pertama preschool cirinya adalah orang membuang sampah sembarangan,kelas kedua elementary, dia buang sampah pada tempatnya : tahap berikutnya buang sampah dengan dipilah-pilah , tahapan lanjutannya (advance) adalah sudah berperilaku dengan berusaha tidak menghasilkan sampah.
Pada perilaku mana sampah paling banyak ? yaitu di kelas preschool dan elementary. Namun yang terjadi pada para experts sampah selalu menyarankan melompat kelas, orang yang tadinya buang sampah sembarangan langsung disuruh memilah. Lalu misalnya dibuat pelatihan pengelolaan sampah 200 orang, dengan cara penyuluhan pemilahan dsb paling cuma mampu bertahan beberapa bulan saja lalu hilang karena kelas yang advance paling hanya beberapa orang saja misalnya seperti bu Banjarsari, dsb. Dalam hal ini BEST kemudian menetapkan ingin bergerak di kelas rata-rata saja skala kawasan (preschool dan elementary) dengan membuat TPST. Sampah dikumpulkan kemudian dibawa ke TPST, dipilah, ada yang dibuat kompos, recycle dan yang benar-benar residu 30% dibuang ke TPA. Persoalannya adalah siapa yang membayar penanganan sampah seperti ini ? kalau rakyat tidak mungkin karena terlalu mahal, tapi operasi dan maintenace mereka bisa. Oleh karena itu investment dari pemerintah , perawatan dan pemeliharaan oleh masyarakat, karena melibatkan masyarakat maka pembangunannya tidak bisa kontraktual atau borongan/pihak ketiga. Masyarakat harus dilibatkan. Biar mereka punya Sense of responsibliity. Mereka tahu anggaran dan penggunaannya,berapa biayanya ? dst. Kami coba di Mustika tigaraksa dan berhasil sampai sekarang dengan melibatkan masyarakat, dari sana kami coba di Telaga Bestari, kami ke Sidoarjo dan dimplementasi di sana dan juga berhasil. Menurut saya suatu kegiatan bisa disebut berhasil jika konsep itu bisa direplikasi di tempat lain. Kita tidak bicara pabrik kompos, tas atau yang lainnya tapi kami ingin mengurangi sampah yang dihasilkan. Jika kami membuat pabrik kompos bagaimana jika tidak laku ? masyarakat bisa frustasi akhirnya tidak ada insentif untuk mereka tentu bisa berakibat mereka bisa tidak tertarik lagi. Kami menempatkan Kompos tidak sebagai revenue utama bukan sebagai andalan pendapatan. Beberapa TPST yang kami pernah tangani yaitu di Sampora, Griya Serpong, Sarua, Villa Pamulang Mas, Bermis, Mustika Tigaraksa, Telaga Bestari dll.
Pada suatu siteplan perumahan pada saat dibuat fasos fasum cuma ada rumah ibadah, TK, taman, sarana olahraga dsb lalu tempat sampahnya mana ? nah dari cerita ini dalam target MDGS mestinya seorang manajer kota berpikir target MDGS tercapai, dan uang yg ada cukup. Karena jika harus mengejar menaikkan coverage pelayanan sampah hingga 70% dengan sistem angkut buang, maka berapapun uang pemda yang ada pasti tidak cukup. Waktu itu impian saya setiap perumahan harus mempunyai TPST sendiri dan bagaimana hanya 30% sampah yang benar-benar dibuang, dan pada saat pemda membuat incenerator maka akan dapat dilaksanakan. Kenapa incenerator gagal karena sampah yang ada adalah sampah yang belum dipilah atau terlalu banyak sampah basahnya sehingga kerjanya tidak maksimal,yang terbakar hanya bagian luar saja. Di Tangsel anggaran pengelolaan TPA hanya 100 juta/tahun dan hanya utk mendorong2 sampah saja sudah habis.
Bagaimana ngakali supaya masyarakat mau mengurus sampah. Filosofinya orang itu mau jika apa ?. Jika saya dapat memecahkan masalah saya dan dapat apa. Syarat-syarat ini yg kami buat dan dikemas. Kami LSM BEST berpikir bagaimana masyarakat harus untung, pemerintah untung, developer untung tapi adakah itu ? ternyata kami bisa melakukan itu. Manfaatnya ada masyarakat yg bekerja, pemerintah dapat untung juga, organisasinya juga mudah dikomplain dsb. Kami memang tidak melakukan pemilahan dalam skala rumah tangga, kami tdk sanggup, kami hanya menahan di skala komunitas. Mungkin kondisi ideal tercapai pada masa depan, generasi saya tidak melihatnya. Dari usaha kami telah tercapai achievement mereka termotivasi membuat tas dll. Umur TPA kita akan semakin panjang bisa 2 kali lipat, frekuensi angkut truk akan berkurang, kemacetan akan berkurang dan mengurangi emisi gas. Mengurangi gas metan ke udara di TPA melalui treatment sederhana ini.
Dulu pada saat awal-awal kami tidak dilihat orang namun sekarang banyak yang sudah minta. Kami tidak mengelola sampah di pasar, karena di pasar siapa yang akan membayar ? BEST tidak mengajari masyarakat untuk disubsidi meminta kepada pemerintah. Biarlah masyarakat hidup di sistem pasar, yang jika harus bayar, maka harus bayar.
Dulu di Mustika Tigarakasa bayar sampah Rp. 1000,- lalu jika ada 100 KK berarti hanya Rp. 100.000,- itupun belum tentu bayar tepat waktu, dan siapa yang mau dibayar mengelola sampah dibayar cuma Rp. 100.000,-, lalu coba dinaikkan menjadi sekitar Rp. 1.000.000,-/bulan sudah ada yang mau, artinya apa sesungguhnya iuran sampah yang mereka bayar tidak realistis, lalu lewat negosiasi selanjutnya disepakati rp. 4.000,-/bulan. Namuan konsep ini jangan dibawa ke skala kota karena akan banyak reaksi.
Saat ini di lapangan mereka yang mengelola TPST malah lebih banyak pengalamannya. Kami hanya memberikan basic knowledge saja. BEST melalukan people to people learning dari Mustika Tigaraksa kami minta mengajari di Telaga Bestari, dari Telaga bestari kami minta mengajari di Bermis dst. Saya hanya memanage resources itu berjalan. dengan intervensi sederhana.
Uraian pintu masuk ke komunitas ?
Pada bulan Juni 2004 BEST memulai program “Sampah Pro” di Tangerang. Program ini menggunakan motor kecil beroda tiga untuk mengumpulkan sampah pada rumah warga yang turut berpartisipasi setiap dua kali sehari. Setelah gerobak ini penuh, sampah kemudian diangkut ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) untuk diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Kegiatan ini menarik perhatian beberapa warga perumahan Mustika Tigaraksa, perumahan baru dengan penghuni sekitar 1,600 keluarga berpenghasilan menengah bawah. Tidak ada layanan pengumpulan sampah resmi yang disediakan oleh pihak pengembang atau pemerintah daerah: pihak pengembang mengumpulkan sampah dengan jadwal yang tidak pasti, dan Pemerintah Kabupaten Tangerang bermasalah dengan keterbatasan kapasitas transportasi (hanya 700 m3/hari dari 2000m3/hari yang harus diangkut ke TPA) dan kurangnya tempat pembuangan. Pengelolaan sampah sulit berjalan dengan efektif jika ongkos yang ditarik hanya Rp. 1,000/KK/bulan. Sebagian besar sampah rumah tangga ditumpuk begitu saja di lahan kosong, sehingga merusak pemandangan dan menimbulkan risiko pada kesehatan masyarakat.
Kegiatan: Tiga gerobak motor kecil mengumpulkan sampah dari RT-RT yang turut berpartisipasi. Dua kali sehari pekerja ‘Sampah Pro’ memasuki lingkungan setempat dengan gerobak motor untuk mengumpulkan sampah. Di setiap gerobak motor dipasang pengeras suara yang memperdengarkan jingel dan kedatang gerobak ‘Sampah Pro’. Warga penghuni adalah anggota jaringan sampah pro, yang membayar bulanan untuk pengumpulan sampah, atau mereka membayar per kilogram sampah.
Bukan hanya pengumpulan sampah yang berkembang, tapi juga kegiaran daur ulang sampah. Diatas lahan yang disediakan oleh pihak pengembang, BEST membangun TPS yang juga berfungsi sebagai tempat daur ulang, dimana sampah dipisahkan menjadi sampah yang dapat didaur ulang, tidak dapat didaur ulang dan sebagai bahan kompos. Sampah untuk daur ulang meliputi kaca, plastik, logam dan kertas yang akan dijual ke pabrik untuk diolah kembali. Sampah yang tidak bisa didaur-ulang diangkut ke TPS pemerintah dua kali seminggu dengan truk. Sampah untuk bahan kompos dimasukkan dalam tong berisi bakteri selama dua minggu, lalu ditaruh di kotak terbuka untuk pengomposan lebih lanjut dan pengeringan.
Saat ini programnya tidak hanya untuk pengelolaan sampah. Didukung oleh kesadaran lingkungan yang semakin baik, kegiatan dalam berbagai aspek lingkungan dicoba, termasuk pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) rumah sakit, pembangunan MCK plus ++ (WC umum dengan sarana tambahan), dan produksi biogas sebagai pengganti minyak tanah. Selama program tersebut berjalan, BORDA membantu BEST sebagai mitra konsultan dan membiayai pembangunan.
Hasil: Sampah dikumpulkan secara berkala, dan lingkungan permukiman dijaga kebersihannya. Kegiatan pemilahan sampah dan daur-ulang telah mengurangi 54% volume sampah yang harus dibuang dan memperpanjang umur TPA. Frekuensi pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dengan menggunakan truk menjadi berkurang dari 45 kali sebulan menjadi 8 kali sebulan. Selain itu, para warga masyarakat mendapatkan penghasilan sekitar Rp. 600 ribu per bulan dari penjualan sampah kering dan kompos.
Secara keseluruhan pengelolaan sampah yang dilakukan cukup memadai dan secara perlahan mengarah pada prinsip pendanaan cost recovery (operasi dan pemeliharaan saja).
BEST dengan jelas menyatakan misinya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan prinsip partisipasi. Hal ini diterima dengan baik oleh warga yang ikut serta dalam program tersebut dan mereka memberikan respons positif terhadap jadwal pengumpulan sampah dan pembayaran iuran anggota sebesar Rp. 4,000/KK/bulan. Pengumpulan dana melalui penjualan kompos dan bahan daur-ulang semakin menopang kemandirian dan rasa percaya diri masyarakat.
Keberhasilan ini terjadi karena dukungan berbagai pihak ketiga; BORDA sebagai donor utama, lahan yang disediakan pihak pengembang sebagai sarana utama, dan pemerintah daerah mampu menyediakan pengangkutan sekunder ke TPA, karena jika hal ini tidak dilakukan akan membuat kondisi TPS semakin semrawut.
dari cerita di atas akhirnya mereka yang biasa buang sampah di sembarang tempat akhirnya berubah polanya, mereka tidak lagi membuang sampah ke sembarang tempat tapi mengumpulkan sambil menunggu petugas yang mengambil sampah. Namun ternyata ada sub sistem lain yang terkena dampaknya, supir truk protes karena sampah yang tadinya dibuang sembarangan akhirnya berubah arusnya menjadi dibuang ke TPS dan armada truk harus bekerja keras, frekuensi angkut sampah mereka menjadi naik. Jadi sesungguhnya bila ada kata bupati/walikota bicara buanglah sampah pada tempatnya sesungguhnya mereka sedang bullshit.
Pada tahun 2006 penanganan sampah di Mustika Tigaraksa menjadi acuan keluarnya Permen PU no. 21/2006 untuk disebar di seluruh Indonesia. Konsepnya sampah dari perumahan harus 30% saja dan pemerintah tinggal buat perda saja tentang hal itu.
Sampah tidak selalu bicara tentang uang tetapi lebih kepada manajemen dan konsepnya. Kepala SKPD tentu tidak sepakat karena hal ini akan menyaingi Tupoksi mereka padahal jika dilihat sebenarnya saling komplementer, padahal malah nama baik mereka akan terangkat. Untuk sampah pasar adalah tanggung jawab pemerintah, kami hanya menangani yang di tingkat komunitas.
Pemerintah sudah mulai memperlihatkan minatnya untuk melakukan hal ini. Untuk Tangsel sebenarnya jika political will-nya ada, tentunya akan terus bertambah TPST ini, karena diketahui bahwa banyak perumahan di Kota Tangsel. Best sendiri memang melakukan perubahan mindset pemkot/pemda dan mindsetnya masyarakat. Sekarang lebih mudah karena sudah banyak contoh tidak seperti dulu yang harus dilakukan dengan kerja keras. Saat ini kami malah kebanyakan permintaan.
Yang BEST lakukan pernah ditiru oleh Departemen PU dan dilakukan serentak di seluruh Indonesia dibuat secara massal bangunan-bangunannya tetapi tidak berhasil karena pendekatan yang dilakukan berbeda apalagi dibangun dengan mempergunakan kontraktor (kontraktual) karena Capacity building terhadap masyarakat tidak dilakukan. Coba perhatikan begitu antusiasnya mereka yang mengelola sampah di Bermis, lebih baik mereka sombong daripada minder. Jadi biarkan masyarakat dilibatkan penuh, mereka mengelola, dari mereka untuk mereka oleh mereka.
Apa yang menarik dari pengalaman bapak mengelola sampah selama ini ? yang menarik adalah saat ini banyak pemerintah daerah yang sudah berminat, ada trend yang berubah dari masyarakat, kedua adalah resistensi dari masyarakat yang kuat pada saat mereka tidak tahu. Kami pun tidak bisa memaksakan semua orang akan setuju dengan apa yang kami lakukan, mereka yang kontra tentunya menjadi proses pembelajaran bagi kami. Saya enjoy hingga sekarang melakukannya. Sekarang kami kelebihan order tahun kemarin proyek kami 70 proyek dengan SDM terbatas. Kami juga punya banyak kantor di tempat lain seperti di Medan, padang, Riau dll kami tidak kebingungan memilih tempat bekerja. Kami punya proyek gagal di Taman Banten Lestari, itu tandanya kita masih manusia. Kamipun cerita dan belajar dari yang gagal. Kami bangun 27 MCK dan 4 buahnya pernah gagal. Kami juga mendapat penghargaan dan evaluasi yang baik dari Jerman. Ada 7 organisasi yang mendapat bantuan penuh dari pemerintah jerman dan BEST juga dievaluasi sangat baik. Saya banyak belajar dari bangsa jerman yang berkemauan keras tidak mau mengalah, tepat waktu, sabar. Kami bekerja not only money tapi kami bekerja dengan membangun networking, sharing knowledge dan experience. Good heart in good living. Membela orang miskin tidak harus menjadi miskin tapi dilakukan dengan cara yang halal. Selain TPST kami juga punya yang kami namakan RBU (Recycle building Unit).
Wawancara dengan Pak hamzah Direktur BEST.(villa melati mas 2011) by Muhlisin, Sophie dan Romly R.